MADH DAN ZAMM DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an)
MADH DAN ZAMM DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan terhadap Tujuan Madhdan Zamm dalam Al-Qur’an)
Oleh Team www.unmetered.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai i‘jaz yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyri‘iy, lugawy maupun ‘ilmy,[1] dan pada saat yang sama ia juga sebagai hudan lin-nas. Maka al-Qur’an dengan keistimewaannya itu mampu berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa dan mengandung pesan-pesan serta solusi-solusi global terhadap problematika kehidupan, baik secara zahir maupun batin, tersurat maupun tersirat.[2]
Al-Qur’an diturunkan Allah SWT dengan memakai bahasa Arab, karena memang Nabi Muhammad hidup di sana. Bahasa sebagai simbol realitas yang bersifat arbritrer pada dasarnya dibentuk dan membentuk konsep yang dipegang masyarakat pemakainya dalam menyikapi dan memaknai dunia riil, baik melalui ciri gramatik maupun klasifikasi semantik yang dikandungnya.[3] Maka al-Qur’an juga mengikuti kaidah-kaidah bahasa konvensional, namun juga memberikan gaya bahasa tersendiri yang belum pernah dipakai pada saat itu.
Di samping itu sebagai gejala bahasa, bahasa bersifat dinamis, tumbuh dan berkembang sejalan dengan meningkatnya kemajemukan persepsi manusia terhadap makrokosmos dan mikrokosmos.[4]Oleh karena itu makna sebuah leksem kadang-kadang mengalami perubahan (baik dari makna sempit menjadi luas atau sebaliknya, bahkan hilang maknanya atau berubah sama sekali) dan kadang-kadang tetap.[5]Hal ini tergantung konteks dan aspek-aspek sosial yang melatarbelakanginya. Oleh karena itulah konteks sangat menentukan makna dan mengabaikannya akan menghasilkan kesimpulan yang keliru, dengan demikian memahami makna suatu kata harus meneliti pemakaiannya dalam struktur kalimat yang berbeda-beda dan konteks yang berbeda-beda pula.
Al-Qur’an merupakan sistem bahasa yang mempunyai spesifikasi tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang mengandung i’jaz, sehingga dapat mempengaruhi hati manusia. Dengan pengaruh ini, mausia diharapkan mengikuti yang baik yang diserukannya dan meninggalkan yang buruk yang diperintahkannya untuk dijauhi.
Di antara gaya bahasa al-Qur’an itu adalah pemakaian madh (pujian) dan zamm (celaan). Ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an untuk memuji yang secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Madh secara langsung, yaitu memuji dengan memakai kata-kata yang mempunyai arti memuji, seperti al-hamdu, ni‘ma dan lain sebagainya.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ[6]
“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”[7]
Allah dalam ayat di atas memuji Zat-Nya sendiri, hal ini untuk menunjukkan keagungan-Nya dan juga untuk mengajarkan manusia agar memuji-Nya. Allah SWT juga berfirman:
وَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوْآ اَنَّ اللهَ مَوْلاَكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ[8]
“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”[9]
2. Madh dengan menggunakan kata-kata yang tidak berarti memuji, namun setelah digabungkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah kalimat, maka mengandung persepsi memuji, seperti firman Allah SWT:
وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ[10]
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[11]
Dengan gaya bahasa seperti dalam ayat ini, Allah SWT memuji rasul-Nya Muhammad, bahwa ia merupakan sosok yang berada di atas moral yang luhur. Allah juga berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِىْ اَسْرَىبِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ اْلاَقْصَى[12]
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil-haram ke al-aqsa.”[13]
Dalam ayat di atas Allah SWT memuji Zat-Nya dengan menunjukkan sebagian sifat-Nya, yaitu Maha Suci. Statemen ini ditegaskan sebelum statemen misi inti untuk memberi penegasan dan warning, bahwa hal yang akan disampaikan merupakan sesuatu yang besar dan agung yang dalam konteks ini adalah isra’ Nabi Muhammad SAW.
Demikian pula dengan zamm, ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an untuk mencela yang secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
- Zamm dengan secara langsung, yakni mencela dengan menggunakan kata-kata yang mengandung arti celaan, seperti bi’sa, sa’a dan zamm, seperti firman Allah:
وَلاَ تَلْمِزُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ، بِئْسَ اْلاِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ اْلاِيْمَانِ[14]
“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”[15]
Bi’sa dalam ayat di atas untuk mencela perbuatan fusq, bahwa setelah orang beriman, maka perbuatan yang paling buruk adalah perbuatan fusq, yakni perbuatan maksiat kepada Allah SWT, maka tidak boleh memanggil seorang mukmin dengan fasik dan yang semakna dengannya.
وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيْنًا فَسَآءَ قَرِيْنًا[16]
“Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidakberiman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”[17]
Sa’a dalam ayat di atas berarti buruk, yakni syaitan adalah seburuk-buruk teman bagi seseorang.
2. Zamm dengan menggunakan kata-kata yang tidak berarti mencela, namun setelah digabungkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah kalimat, maka mengandung persepsi mencela, seperti firman Allah SWT:
اَفَمَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَنْ يَاْتِىْ آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ[18]
“Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat?”[19]
Dalam ayat di atas Allah SWT mempertanyakan suatu perbandingan antara orang yang dilemparkan ke dalam neraka dengan orang yang aman sentosa dengan masuk surga. Apakah orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik? Semua orang pasti mengerti, bahwa orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih buruk dan lebih celaka. Namun kenapa dipertanyakan? Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, tetapi untuk mubalaghah dalam mencela ahli neraka.
Gaya bahasa Madh dan zamm mempunyai tujuan tertentu. Di antara tujuan Madh adalah ta’dib(pengajaran), maka Allah SWT memuji seseorang, amal tertentu, akhlak tertentu, atau bahkan Dia memuji Zat-Nya, hal ini sebagai pengajaran kemudian hamba-Nya agar menghisi diri dengan sifat sesuatu yang dipuji. Dan di antara tujuan zamm adalah menghinakan, yakni Allah SWT merendahkan orang yang menyimpang dari syari‘at yang di bawa Rasul dan juga memberi peringatan, bahwa yang di cela itu merupakan amal perbuatan yang harus dihindari.
Di samping itu obyek yang menjadi pujian dan celaan juga bervariasi yang menyangkut sifat, sikap dan tindakan manusia, juga sifat-sifat Allah SWT. Demikian pula tujuan dari penggunaan Madh dan zamm juga bervariasi, ada yang bertujuan untuk memberi pelajaran kepada manusia, memberi peringatan terhadap suatu perbuatan yang buruk dan lain sebagainya. Penelitian ini berusaha mengungkap secara kritis mengenai Madh dan zamm, baik dari dari segi bentuk-bentuknya maupun tujuannya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah uslub (gaya bahasa) al-Qur’an ?
- Bagaimanakah uslub (gaya bahasa) Madh dan zamm dalam al-Qur’an ?
- Apa tujuan Madh dan zamm dalam al-Qur’an?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui gaya bahasa Madh dan zamm dalam al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk madh dan zamm dalam al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi persyaratan akademis mendapatkan gelar sarjana (S1).
2. Menambah khazanah ilmu pengetahuan Islam, khususnya di bidang tafsir al-Qur’an.
3. Sebagai bahan penelitian lebih lanjut.
D. Tinjauan Pustaka
Sebenarnya masalah Madh dan zamm telah banyak dibahas oleh para mufassir dalam karya-karya mereka, seperti al-Qurtuby dengan karyanya al-Jami‘ li Ahkamil-Qur’an, Ahmad as-Sawy dengan karyanya Hasyiyah as-Sawy, Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir at-Tabary dengan karyanya Jami‘ul-Bayan, al-Hafiz ‘Imadud-Din Isma‘il ibn Kasir dengan karyanya Tafsirul-Qur’an al-‘Azim, dan lain-lain.
Mereka banyak membahas Madh danzamm dalam al-Qur’an ayat demi ayat, walaupun ada yang lebih lengkap dan menjauhi penafsiran yang parsial. Al-Qurtuby misalnya, ia menyatakan bahwa Madh dan zamm tidak hanya menggunakan lafaz yang berarti memuji atau mencela saja, tetapi juga memakai kata-kata yang secara lafziyah tidak berarti Madh atau zamm, tetapi setelah dirangkai menjadi satu kalimat mengandung persepsi Madh atau zamm. Ia menambahkan, bahwa Madh adalah antonim zamm.
At-Tabary relatif sama dengan al-Qurtuby mengenai masalah Madh dan zamm, ia menambahkan, bahwa sesunguhnya orang yang memuji sesuatu berarti telah memuji Allah SWT, dan orang yang mencela sesuatu sebenarnya ia telah mencela Allah SWT, karena Dia-lah yang mewujudkan segalanya.
Dalam hal ini, peneliti hendak meneliti tentang uslub Madh dan zamm dalam al-Qur’an dengan merujuk kepada karya-karya di atas dan litelatur lain, karena sejauh pengetahuan peneliti, belum ada seorang yang membahas uslub Madh dan zamm dalam al-Qur’an secara khusus, baik dari kalangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta maupun lainnya.
E. Metode Penelitian
Suatu ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan interelasi yang sistematis dari beberapa fakta. Metode ilmiah adalah suatu sarana untuk mencapai atau mengejar ideal ilmu pengetahuan tersebut.[20]Dengan metode, pengejaran itu dapat terlaksana secara rasional dan terarah demi mencapai hasil yang optimal.[21]
Adapun metode kerja yang digunakan peneliti adalah metode kerja tafsir maudu‘i, yaitu:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang asbab an-nuzul.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaqdan muqayad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.[22]
Di samping itu, peneliti dalam menjabarkan data-data, memakai metode deskriptif – analisis. Metode deskriptif adalah digunakan dalam rangka memberikan gambaran data yang ada serrta memberikan interpretasi terhadapnya.[23]Sedangkan metode analisis digunakan untuk melakukan pemeriksaan (analisis) secara konsepsional atas makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat.[24]
F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun dalam empat bab yaitu:
Bab pertama meliputi pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah uslub al-Qur’an yang meliputi pengertian uslub al-Qur’an dan karakteristik uslub al-Qur’an.
Bab ketiga adalah uslub Madh dan zamm dalam al-Qur’an yang meliputi definisi Madh dan zamm dalam al-Qur’an, kaidah gramatikal (nahwiyah) uslub Madh dan zamm, bentuk-bentukuslub Madh dalam al-Qur’an dan bentuk-bentuk uslub zamm dalam al-Qur’an.
Bab keempat adalah analisis terhadap tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an yang meliputi urgensi Madh dan zamm dalam al-Qur’an, karakteristik surah Makkiyah dan Madaniyah, karakteristik uslub madh dan zamm pada ayat Makkiyah dan Madaniyah, tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an.
Bab kelima adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
USLUB AL-QUR’AN
A. Pengertian Uslub Al-Qur’an
Uslub berasal dari kata salaba – yaslubu – salban yang berarti merampas, merampok dan mengupas. Kemudian terbentuk kata uslub yang berarti jalan,[25]jalan di antara pepohonan dan cara mutakallim dalam berbicara (menggunakan kalimat).[26] Jika dikatakan salaktu usluba fulanin fi kaza, maka artinya adalah aku mengikuti jalan dan mazhab fulan. Juga jika dikatakan akhazna fi asaliba minal-qaul,maka artinya aku mengambil seni-seni ucapan yang bermacam-macam.[27]
Sedangkan uslub menurut istilah adalah cara berbicara yang diambil mutakallim dalam menyusun kalimatnya dan memilih lafaz-lafaznya.[28]Dengan demikian, uslub merupakan cara yang dipilih mutakallim atau penulis di dalam menyusun lafaz-lafaz untuk mengungkapkan suatu tujuan dan makna kalamnya. Dan uslub terdiri dari tiga hal, yaitu cara, lafaz dan makna.
Uslub dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa, yaitu pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Demikian pula dapat didefinisikan sebagai cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.[29]
Dengan demikian uslub al-Qur’an adalah metodenya yang eksellen dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Maka tidak aneh jika uslub al-Qur’anberbeda dengan uslub kitab-kitab samawiyah lainnya. Sebagaimana juga uslub yang dipakai manusia berbeda satu sama lain sebanyak kuantitas jumlah mereka, bahkan uslub yang dipakai seorang akan berbeda sesuai dengan tema dan dan konteksnya.
Namun demikian, uslub al-Qur’an bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan tetapi metode yang dipakai al-Qur’an dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya.[30] Oleh karena itu, uslub al-Qur’anberbeda dengan hadis, syi’ir, kalam dan buku-buku yang ada, meskipun bahasa yang digunakan sama dan mufradat (kosa kata) yang dipakai membentuk kalimatnya juga sama.
Untuk dapat mengetahui posisi uslub al-Qur’an, maka harus diketahui klasifikasi uslub yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Secara global, uslub dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
- Uslub khitaby (gaya bahasa retorika)
Retorika merupakan salah satu seni yang berlaku pada bangsa Arab yang mempunyai karakteristik dengan kandungan makna yang kuat, memakai lafaz yang serasi, argumentasi yang relevan dan kekuatan IQ oratornya. Biasanya seorang orator berbicara mengenai tema yang relevan dengan realitas kehidupan untuk membawa audiens mengikuti pemikirannya. Uslub yang indah, jelas, lugas merupakan unsur yang dominan dalam retorika untuk mempengaruhi aspek psikis audiens.[31]
2. Uslub ‘Ilmy (gaya bahasa ilmiah)
Uslub ‘ilmy harus jauh dari aspek subyektif dan emotif penuturnya, karena eksperimen ilmiah itu obyektif dan tidak ada hubungannya dengan aspek psikis, emotif dan kondisi orang yang melakukannya.[32]Uslub ‘ilmiah membutuhkan logika yang baik, pemikiran yang lurus serta jauh dari imajinasi dan emosi, karena sasarannya adalah pikiran dan menjelaskan fakta-fakta ilmiah.
Karakteristik uslub ‘ilmiah adalah jelas dan lugas. Namun juga harus menampakkan efek keindahan dan kekuatan penjelasan, argumentasi yang kuat, redaksi yang mudah, rasa yang brilian dalam memilih kosa kata dan informasi yang dapat dipahami dengan mudah.[33] Oleh karena itu, uslub ‘ilmiah harus tematik dan terhindar dari majaz, kinayah dan permainan kata-kata lainnya.
3. Uslub Adaby (Gaya bahasa Sastra)
Uslub adaby sangat subyektif, karena ia merupakan ungkapan jiwa pengarangnya, pemikirannya dan emosinya. Oleh karena itu, uslub adaby sangat spesifik.[34]
Sasaran uslub adaby adalah aspek emosi bukan logika, karena uslub ini digunakan untuk memberi efek perasaan pembaca. Oleh karena itu, temanya mempunyai relevansi yang erat dengan jiwa pengarang dan mengesampingkan teori ilmiah, argumentasi logis, terminologi ilmiah dan penomoran-penomoran.
Tidak diragukan, bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang abadi. Bahkan ia merupakan mu’jizat yang abadi yang tidak musnah oleh masa yang silih berganti, karena ia mu’jizat ‘aqly, bukan hissy dan mu’jizat ‘aqly diperuntukkan bagi umat yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang mendalam. Menurut Manna’ al-Qaththan, segi-segi i’jaz al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu al-i’jaz al-lugawy, al-i’jaz al-‘ilmy dan al-i’jaz at-tasyri‘iyy. Dan al-Qur’an mempunyai uslub yang eksellen untuk ketiga bentuk i’jaz itu. Dengan demikian al-Qur’an memuat ketiga klasifikasi uslub di atas, bahkan al-Qur’an dapat menggunakan uslub interdisiplin, yakni memberi isyarat ilmiah dengan bahasa yang indah.
Sebagai contoh adalah firman Allah SWT:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلاِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَآءِ.[35]
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” [36]
Al-Qurtuby menyatakan, bahwa maksud Allah melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam adalah Allah meluaskan hatinya dan memberinya kekuatan untuk memeluk agama Islam serta memberikan pahala kepadanya.[37] Arti harajan(sesak lagi sempit) dalam ayat di atas menurut ibn ‘Abbas adalah tempat pohon yang sangat rapat, maka seolah-olah hati orang kafir tidak dapat tersentuh oleh hikmah, sebagaimana hewan ternak yang tidak dapat sampai ke tempat yang rapat oleh pepohonan. [38]Sedangkan az-Zujaj berpendapat, bahwa haraj adalah adyaqu ad-dayyiq (kesempitan yang paling sempit).[39] Dan kesempitan itu dipersonifikasikan dengan orang yang mendaki ke langit (ka annama yassa‘adu fis-sama’).
Pada masa turunnya ayat di atas, kemajuan ilmu pengetahuan untuk menjelajah ke ruang angkasa belum dikenal. Maka tasybihdalam ayat di atas merupakan uslub tasybih yang dikaji keindahannya secara balagy. Namun al-Qur’an di samping indah bahasanya, juga sekaligus mengandung kebenaran ilmiah. ‘Abdul-Hamid Dayyab dan Ahmad Qurquz menyatakan, bahwa ayat di atas mengandung i’jaz ilmy. Bahwa mendaki ke langit pada saat turunnya ayat dianggap sesuatu yang khayal. Maka diartikan sebagai kalimat majazi. Namun ternyata sesuai dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Bahwa orang yang naik ke langit akan merasakan sesak nafas dan semakin ke atas semakin sesak hingga tidak dapat bernafas. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu menipisnya kadar oksigen dan berkurangnya atmosfer yang menyelimuti bumi.[40]
Demikianlah, satu ayat memakai uslub yang indah untuk berorasi kepada manusia dan juga sekaligus mengandung isyarah ilmiah. Begitulah bahasa al-Qur’an yang berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِىْ عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ.[41]
“(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.”[42]
Imam al-Qurtuby menafsirkan firman Allah SWT gairi zi ‘iwaj (tidak ada kebengkokan di dalamnya) dengan menyitir pendapat ad-Dahhak yang menyatakan, bahwa maksud firman Allah itu adalah tidak kontradiktif.[43] Baik kontradiktif antar ayatnya, maupun kontradiktif dengan ilmu pengetahuan dan fakta. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi seluruh manusia dan memberi mereka stimulan untuk berpikir, sebagaimana firman Allah SWT:
اِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.[44]
“Sesungguhnya Kami menjdaikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”[45]
B. Karakteristik Uslub Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai i’jaz yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyri‘iyy, lugawy maupun ‘ilmy.[46] Dan i’jaz al-Qur’an sangat jelas bagi semua orang hingga sekarang mengenai uslubnya, karena ia mampu mengemas ketiga aspek i’jaz (tasyri‘iyy, lugawy dan ‘ilmy) dalam waktu yang bersamaan, sehingga pada satu ayat dapat memberikan inspirasi yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda kompetensinya, seperti pada QS al-An‘am: 125 di atas. Bagi ahli sastra, maka ayat tersebut mengandung tasybihyang sangat indah, yaitu kondisi sesak yang semakin sesak yang dipersamakan dengan mendaki ke langit. Di samping itu, tekanan intonasinya memberikan nuansa rasa ritmis yang indah ketika dibaca. Bagi ahli teologi, ayat di atas memberi inspirasi, bahwa Allah-lah yang memberi petuntuk kepada hamba-Nya, maka jika seorang dikehendaki mendapat petunjuk, Dia memberikan kecenderungan kepadanya untuk dapat mudah menerima kebenaran Islam dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia memberikan tabir di hatinya yang dapat menutupi petunjuk Islam. Dan bagi ilmuwan, ayat di atas sesuai dengan teori ilmiah modern, bahwa orang akan merasa sesak nafas dan akhirnya tidak lagi bisa bernafas ketika mendaki ke ketingian tertentu, karena menipisnya atmosfer dan oksigen dan kelangkaannya pada batas tertentu.
Demikianlah, uslub al-Qur’an merupakan sesuatu yang spesifik bagi al-Qur’an. Adapun karakteristik uslub al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany adalah sebagai berikut:
- Sentuhan lafaz al-Qur’an
Tidak diragukan, bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat dalam segala aspeknya. Dari segi lafaznya, spesifikasi al-Qur’an terbentuk dari dua hal, yaitu:
a. Keindahan intonasi al-Qur’an
Yang dimaksud dengan keindahan intonasi al-Qur’an adalah keserasian al-Qur’an dan keterpaduan yang indah dalam harakat, sukun, mad dan ghunnahnya, sehingga memberikan alunan ritmis yang dapat dinikmati pendengaran dan memberikan ketenteraman jiwa yang tidak dapat dimiliki oleh bahasa manapun, baik konvensional maupun sastra. Sehingga orang yang tidak mengerti bahasa Arab pun dapat menikmati keindahan intonasi al-Qur’an.
Contoh keindahan intonasi al-Qur’an tampak pada firman Allah SWT sebagai berikut:
يٰأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ، قُمْ فَأَنذِرْ، وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ، وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ وَلاَ تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ…. إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ، فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ، ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ، ثُمَّ نَظَرَ، ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ، ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ، فَقَالَ إِنْ هَـذَآ إِلاَّ سِحْرٌ يُؤْثَرُ، إِنْ هَـذَآ إِلاَّ قَوْلُ الْبَشَرِ…[47]
Jika kita membaca surah al-Muddssir yang terdiri dari 56 ayat, maka kita akan menemukan intonasi yang pendek-pendek, sedikit menyentak dan serasi sajaknya. Pada ayat pertama hingga kesepuluh, semua ayat diakhiri dengan huruf ra’, pada ayat ke 11-17 semua ayatnya diakhiri dengan huruf dal, pada ayat ke 18-37 kembali diakhiri dengan ra’, pada ayat ke 38 ta’, 39-41 nun, 42 ra’, 43-49 nun, 50-56 ta.
Dengan demikian sedemikian bayak ayat hanya ditutup dengan variasi tiga huruf, yaitu ra’, dal, nun, ta’ marbuthah. Sehingga menghasilkan bunyi yang dinamis, karena memang berisi tentang perintah dakwah Islamiyah dan motivasi melaksanakan ajaran agama Islam.
b. Keindahan bahasa al-Qur’an
Yang dimaksud dengan keindahan bahasa al-Qur’an adalah performa yang mengagumkan yang menjadi ciri khas al-Qur’an dalam keserasian huruf-hurufnya kemudian kalimat-kalimatnya, sehingga jika al-Qur’an dibaca sesuai dengan makhrarijul-hurufnya, maka akan tampak keindahan dan kelezatannya. Maka al-Qur’an dengan susunan huruf dan kalimatnya jika dibaca akan membawa pembaca kepada perjalanan bahasa yang meliuk-liuk dari lunak, sedikit menghentak, keras, lembut dan seterusnya. Semua itu terpadu dalam ritme dinamis yang serasi.
Dengan keindahan al-Qur’an ini, ia mencapai puncak i’jaznya, sehingga jika tercampur oleh bahasa manusia sedikit saja, maka akan segera dapat diketahui karena balancingnya telah terganggu. Dengan demikian keaslian al-Qur’an akan selalu terjaga, karena memang Allah SWT telah berjanji akan menjaganya, sebagaimana firman-Nya:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ[48]
- Dapat diterima semua lapisan masyarakat
Yang dimaksud al-Qur’an dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat adalah al-Qur’an dapat dipahami oleh semua tingkat sosial masyarakat dan tingkat pendidikan mereka, karena al-Qur’an memakai gaya bahasa yang elastis. Dengan demikian al-Qur’an dapat dipahami sesuai dengan kapasitas seseorang. Orang awam jika membaca al-Qur’an, maka ia dapat memahami ayat tersebut secara tekstual atau tidak memahi maknanya karena tidak menguasai bahasa Arab, akan tetapi ia dapat merasakan berada di hadapan kalam Allah yang agung. Dan orang yang berpendidikan akan memahinya lebih dari apa yang dipahami orang awam.
Contoh yang relevan dalam hal ini adalah firman Allah SWT:
اَيَحْسَبُ اْلاِنْسَانُ اَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ، بَلَى قَادِرِيْنَ عَلَى اَنْ نُسَوِّىَ بَنَانَهُ[49]
“Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-tulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”[50]
Mukmin dari kalangan masyarakat awam ketika membaca ayat di atas percaya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan kembali manusia yang telah mati dan telah menjadi tanah. Namun kalangan ilmuwan pada masa modern menemukan kenyataan yang sungguh luar biasa.
Bahwa orang-orang kafir tidak percaya terhadap kehidupan kembali bagi manusia, mereka menganggap tidak mungkin setelah tulang belulang mereka hancur dan jasad mereka menjadi tanah, mereka berkata: “Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)?” (QS As-Saffat: 16). Allah SWT menjawab dengan gaya bahasa penegasan, bahwa Allah tidak hanya mampu mengumpulkan tulang-belulang manusia dan menghidupkannya kembali, bahkan Allah juga mampu mengembalikan sidik jari manusia seperti semula (ketika di dunia). Akan tetapi kenapa Allah mengkhususkan sidik jari, bukan organ tubuh yang lain? Apakah sidik jari lebih rumit dari pada tulang belulang?
Ilmu pengetahuan telah sampai kepada rahasia sidik jari pada abad ke – 19. Dijelaskan, bahwa sidik jari terdiri dari garis-garis yang menonjol pada kulit luar yang bersebelahan dengan lekukan ke dalam dan di atas garis-garis yang menonjol terdapat pori-pori. Garis-garis itu memanjang dan berkelok, bercabang-cabang dan beranak cabang, sehingga membentuk ciri khas pada setiap orang. Sidik jari ini tidak mungkin sama di dunia ini, meskipun sidik jari dua orang kembar yang berasal dari satu embrio.[51]
Pembentukan sidik jari pada janin secara sempurna pada bulan ke empat, dan ia akan tetap menjadi ciri khasnya sepanjang hidup. Mungkin dua sidik jari berdekatan bentuknya, akan tetapi tidak sama persis. Oleh karena itu. Sidik jari merupakan bukti yang valid dan menjadi ciri khas bagi identitas seseorang yang berlaku di seluruh dunia. Dan juga dipakai pihak yang berwenang menangani masalah kriminalitas untuk mengungkap orang-orang yang berbuat jahat.[52]
Inilah rahasia Allah mengungkapkan sidik jari. Dia hendak mengungkapkan kepada manusia meskipun berabad-abad setelah turun al-Qur’an, bahwa Allah mampu mengembalikan struktur yang menjadi ciri khas setiap individu yang telah hidup di dunia ini. Hal ini merupakan penjelasan yang sangat representatif agar manusia percaya, bahwa bangkit dari kubur adalah haq sebagaimana mati adalah haq.
- Al-Qur’an menyentuh (diterima) akal dan perasaa
Yang dimaksud dengan al-Qur’an menyentuh akan dan perasaan adalah uslub al-Qur’an dapat memberikan efek stimulus terhadap pikiran untuk memperhatikan khithabnya dan sekaligus menyentuh emosi atau perasaan.
Sebagaimana telah maklum, bahwa uslub (gaya bahasa) manusia secara global dibagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa ilmiah dan gaya bahasa sastra. Gaya bahasa ilmiah targetnya adalah pikiran dan menjauhi bahasa yang sintimentil yang dapat membangkitkan emosi. Adapun gaya bahasa sastra targetnya adalah perasaan, maka keindahan bahasa yang dapat merangsa emosi menjadi ciri khasnya. Bahasa seseorang adakalanya timbul dari pikiran dan adakalanya timbul dari perasaan. Seorang sastrawan mempunyai kekuatan emosi untuk mengungkapkan pikiran dan emosinya dengan bahasa yang indah. Sedangkan ilmuwan mempunyai kekuatan IQ yang diungkapkannya dengan bahasa yang lugas dan jelas. Seorang yang cenderung kepada sastra biasanya tidak menggunakan bahasa ilmiah, dan orang yang cenderung kepada ilmu pengetahuan biasanya tidak suka memakai bahasa sastra.
مَا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِىْ جَوْفِه[53]
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.”[54]
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT, maka tentuya berbeda dengan gaya bahasa manusia yang serba terbatas, karena Dia adalah Maha Kuasa yang dapat mengumpulkan antara ruh dan jasad. Maka uslubnya dapat berorientasi kepada pikiran dan perasaan sekaligus, mengumpulkan antara yang haq dan yang bathil dan mengandung fakta-fakta ilmiah dengan bahasa yang indah.
Contoh yang relevan dalam hal ini adalah firman Allah SWT:
اَفَلَمْ يَنظُرُوۤاْ إِلَى السَّمَآءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِن فُرُوجٍ، وَالأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ، تَبْصِرَةً وَذِكْرَى لِكُلِّ عَبْدٍ مُّنِيبٍ، وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً مُّبَارَكاً فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ، وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ، رِّزْقاً لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتاً كَذَلِكَ الْخُرُوجُ [55]
Ayat di atas memakan uslub yang dapat menyentuh pikiran dan juga memuaskan perasaan dari segi keindahannya dalam waktu yang bersamaan.
- Keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan rangkaian kata-kata yang membentuk struktur kalimat. Dan kalimat-kalimat itu membentuk satu ayat dan ayat-ayat membantuk suatu surah. Kalimat-kalimat suatu ayat terjalin secara akrab dan serasi yang saling mendukung keindahan ayat dan kedalaman maknaya. Dan selanjutnya antara satu ayat dan ayat lain terjadi hubungan dialektika yang serasi dan wajar. Demikian pula keserasian dan keakraban hubungan terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, sehingga satu surah selalu mempunyai relevansi dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya.[56]
Dengan jalinan yang kuat dan serasi antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, antara satu ayat dengan ayat lainnya dan antara satu surah dengan surah lainnya, maka al-Qur’an dalam mengungkapkan maksud-maksudnya yang bervariasi tidak memerlukan klasifikasi dalam suatu bab, sub bab, penomoran dan lain sebagainya. Semuanya tampak mengalir dengan wajar dan indah, meskipun selalu berpindah dari tema satu ke tema lainnya.
Contoh yang relevan dalam hal ini adalah firman Allah SWT:
الۤمۤ، ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ، الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَممَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ، والَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ، أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ، خَتَمَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ، وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ.[57]
Ayat pertama merupakan fawatihus-suwar yang hanya Allah SWT sendiri yang mengerti maksudnya. Kemudian dijelaskan mengenai kitab al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya. Kitab itu menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa. Kemudian ayat berikutnya menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa. Pada ayat ke enam beralih tema mengenai sifat orang kafir yang tertutup hati, pendengaran dan penglihatannya, sehingga tidak akan menerima petunjuk. Dan selanjutnya mendeskripsikan kondisi psikis munafik.
Demikianlah delapan ayat di atas menjelaskan beberapa tema dengan tanpa klasifikasi bab dan penomoran, tetapi pembicaraan mengalir begitu saja dalam alur yang wajar dan indah.
- Kekayaan seni redaksional
Al-Qur’an mempunyai berbagai cara yang sangat variatif dalam mengungkapkan satu makna, seperti jika al-Qur’an mengungkapkan perintah, maka uslubnya sangat berfariasi, di antaranya:
a. Menggunakan bentuk perintah yang sharih, seperti firman Allah SWT:
اِنَّ اللهَ يَاْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى.[58]
b. Memberi informasi, bahwa suatu perbuatan diwajibkan, seperti firman Allah SWT:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلَى. [59]
c. Memberi informasi (ikhbar) bahwa suatu perbuatan diwajibkan bagi orang umum atau golongan tertentu, seperti firman Allah:
وَللهِ عَلىَ النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً. [60]
d. Melekatkan suatu pekerjaan kepada orang yang diwajibkan, seperti firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوۤءٍ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيۤ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ.[61]
e. Memakai bentuk perintah, seperti firman Allah SWT:
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَوةِ الْوُسْطَى وَقُوْمُوْا ِللهِ قَانِتِيْنَ. [62]
f. Memakai kata faradha, seperti firman Allah SWT:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِىْ اَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ.[63]
g. Menyebutkan suatu pekerjaan merupakan sebagian syarat, seperti firman Allah SWT:
فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْىِ.[64]
h. Memberikan sifat baik kepada suatu perbuatan, seperti firman Allah SWT:
وَيَسْاَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَمَى قُلْ اِصْلاَحٌ لَهُمْ خَيْرٌ. [65]
i. Menyertakan ancaman terhadap suatu pekerjaan[66], seperti firman Allah SWT:
مَنْ ذَاالَّذِىْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً. [67]
Di samping itu, kekayaan redaksional al-Qur’an ditampakkan dengan suatu cara yang menjadi ciri khas tersendiri yang membedakan dengan kitab-kitab lainnya, baik kitab suci maupun kitab ilmiah lainnya, yaitu:
- Menyampaikan pesan moral dengan kisah, seperti disebutkan perjuangan menegakkan kebenaran bertuhan dan bermoral yang disampaikan melalui kisah nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan lain sebagainya.
- Memakai permisalan, seperti firman Allah SWT:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [68]
Sangat banyak ditemukan gaya bahasa al-Qur’an yang memakai permisalan, baik dengan memakai kata masala dan derivatifnya, daraba, syabbaha maupun memakai huruf kaf dan kaanna.
- Memuji sesuatu perbuatan yang harus dikerjakan.
Memuji dalam al-Qur’an biasanya digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai moral yang luhur, agar diikuti. Uslub memuji ini pun dalam al-Qur’an sangat berfariasi sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab ketiga. Contoh uslub memuji ini adalah menggunakan kata ni’ma, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ. [69]
نِعْمَ الْعَبْدُ اِنَّهُ اَوَّابُ. [70]
Dalam ayat pertama, Allah memuji Zatnya sendiri, bahwa Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Sedangkan dalam ayat yang kedua Allah memuji Nabi Sulaiman yang banyak bertaubat kepada Allah SWT.
- Mencela suatu perbuatan yang dilarang.
Mencela dalam al-Qur’an biasanya digunakan untuk menjelaskan moral yang tidak baik, agar tidak dilakukan. Uslub mencela ini pun dalam al-Qur’an sangat berfariasi sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab ketiga. Contoh uslub mencela adalah menggunakan kata bi’sa, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
بِئْسَ اْلاِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ اْلاِيْمَانِ. [71]
Ayat di atas berisi tentang celaan pemberian gelar kepada orang yang telah beriman dengan gelar yang tidak baik, seperti memanggil dengan hai fasik, hai pendosa dan lain sebagainya.
BAB III
USLUB MADH DAN ZAMM DALAM AL-QUR’AN
A. Definisi Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an
1. Definisi Madh
Madhberasal dari kata madaha – yamdahu – madhan yang berarti asna ‘alaihi bima lahu minas-sifat[72](memuji seseorang karena sifat-sifatnya/ yang baik). Dalam bahasa Indonesia madh biasa diterjemahkan dengan memuji.
Ibn Manzur[73]menyatakan, bahwa al-madh adalah antonim dari al-haja’ (ejekan). Madh adalah ism masdar, jamaknya midah, ism fa‘ilnya madih dan jamaknya mada’ih/ amadih yang berarti pujian yang baik.
Ahmad as-Sayib menyatakan, bahwa madh adalah seni memberikan penghormatan dan mengungkapkan perasaan cinta, sebagaimana zamm adalah seni mencela dan mengungkapkan perasaan benci. Ditinjau dari segi uslub, keduanya merupakan hal yang sebanding, meskipun dalam stimulan (ba’is) emotifnya berbeda. Orang yang terpuji adalah orang yang layak menempati posisi terpuji karena perbuatannya dalam kehidupan.[74]
Pujian dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa pengakuan dan penghargaan yang tulus akan kebaikan (keunggulan) sesuatu.[75]
Sedangkan yang dimaksud dengan madh dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an untuk menjelaskan hal-hal yang baik, memberi penghormatan dan rasa senang terhadap yang dipuji dengan tujuan agar diikuti.
Adabeberapa sinonim madh, yaitu sana’, hamd, syukr, dan ni‘ma. Namun demikian, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali lafaz madh, syukr dan ni’ma. Penjelasan mengenai adanya persamaan persepsi yang terkandung dalam masing-masing kata ini akan dibahas pada pasal setelah ini.
Telah disebutkan pada bab dua, bahwa uslub al-Qur’an adalah metode yang dipakai al-Qur’an dalam memilih mufradat dan gaya kalimatnya.[76] Maka uslub madh dalam al-Qur’an adalah metode al-Qur’an yang eksellen dalam mengungkapkan pujian dan memilih kata-kata untuk membentuk kalimat yang mengesankan pujian itu. Dengan ungkapan ini, al-Qur’an memberikan suatu penghargaan yang istimewa terhadap sesuatu yang menjadi sasaran pujian itu.
Adatiga elemen dalam madh, yaitu:
a. Uslub madh yang merupakan reaksi positif terhadap sesuatu yang dipuji.
b. Sifat atau perbuatan baik.
c. Seorang atau sesuatu yang mempunyai sifat atau perbuatan baik itu.
Ketiga elemen di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sesuatu yang dipuji pada hakekatnya adalah sifat-sifat yang luhur dan perbuatan-perbuatan yang baik, sedangkan seorang merupakan media tempat munculnya. Maka tidak akan ada amal salih dan sifat mulia kecuali ada seorang yang memunculkannya. Sifat dan amal salih itu berada di dalam diri seseorang, sehingga ia berhak mendapatkan pujian. Adapun uslub madh adalah sarana untuk mengungkapkan pujian itu agar diketahui oleh orang lain.
2. Definisi Zamm
Zamm berasal dari kata zamma – yazummu – zamman wa mazammatan yang berarti al-laum fil-isa’ah (mencela untuk menjelekkan). Ism maf‘ul-nya adalah mazmum, zammim dan mazmum.[77]Sedangkan dalam al-Mu‘jam al-Wasit disebutkan, bahwa kata zamm berarti ‘abahu wa lamahu (mencela dan mencercanya).[78]
Sedangkan yang dimaksud dengan uslub zamm dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an untuk mengungkapkan hal-hal yang buruk, baik dari Allah kepada seorang, suatu kaum atau sesuatu maupun dari orang kafir kepada rasul Allah atau kepada-Nya.
Ahmad as-Sayib menyatakan, bahwa zamm adalah seni mencela dan mengungkapkan rasa benci. Ditinjau dari segi uslub, madh dan zamm merupakan hal yang sebanding, meskipun dalam stimulan (ba’is) emotifnya berbeda.[79]
Adatiga elemen dalam zamm, yaitu:
a. Uslub zamm yang merupakan reaksi negatif (pengingkaran) terhadap sesuatu yang dicela.
b. Sifat atau perbuatan yang tercela.
c. Orang yang menjadi target zamm.
Ketiga elemen di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sesuatu yang dicela pada hakekatnya adalah sifat-sifat, perbuatan-perbuatan atau lainnya yang tidak baik atau tidak disenangi. Sedangkan orang yang menjadi target zamm merupakan media tempat munculnya zamm. Maka tidak akan ada sifat dan perbuatan tercela kecuali ada seorang yang memunculkannya. Sifat dan perbuatan buruk itu berada di dalam diri seseorang, sehingga ia berhak mendapatkan celaan. Adapun uslub zamm adalah sarana untuk mengungkapkan celaan itu agar diketahui oleh orang lain.
B. Kaidah Gramatikal (Nahwiyah)Uslub Madh dan Zamm
Madh dan zamm merupakan hal yang dibahas secara spesifik dalam nahwu dengan menambahkan kata uslub, sehingga pembahasannya menjadi uslub madh dan zamm. Hal demikian ini karena uslub madh dan zamm mempunyai kaidah tersendiri. Di samping uslub madh dan zamm, yang termasuk kategori ini adalah uslub asy-syart, uslub al-qasam, uslub at-ta‘ajjub, uslub al-igra’ wat-tahzir, uslub al-ikhtisas, uslub al-istigasah dan uslub al-istifham.[80]
Uslub madh dan zamm tidak terlepas dari tiga unsur, yaitu fi’l (kata kerja), fa‘il (subjek) dan makhsus bil-madh waz-zamm (objekmadh dan zamm). Adapun penjelasan masing-masing unsur itu adalah sebagai berikut:
1. Af‘alul-madh waz-zamm
Af‘alul-madh yang digunakan untuk membentuk uslub madh adalah:
a. نِعْمَ (sebaik-baik).
b. حَبَّ (sebaik-baik).
d. حَبَّذَا (sebak-baik).
Sedangkan af‘aluz-zamm yang digunakan untuk membentuk uslub zamm adalah:
a. بِئْسَ (seburuk-buruk).
b. سَاءَ (seburuk-buruk).
c. لاَ حَبَّذَا (seburuk-buruk). [81]
Bentuk kalimat madh dan zamm adalah insya’iyyah gairu talabiyah, yakni kalimat yang tidak mengandung kebohongan atau pembenaran, akan tetapi tidak mengikat suatu perintah.
2. Fa‘il Af‘alul-Madh dan Zamm
Fa‘il af‘alul-madh dan zamm dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
a. Ism zahir yang ma‘rifah dengan “al” jinsiyyah yang berfungsi istigraq (mengesankan keseluruhan), atau ism mudaf (kata majmuk).[82] Contoh:
بِئْسَ اْلاِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ اْلاِيْمَانِ[83]
وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِيْنَ[84]
b. Damir mustatir bi nakirah mansubah ‘alat-tamyiz, contoh:
نِعْمَ خُلُقًا الأَمَانَةُ
3. Makhsus bil-Madhdan Zamm
Makhsus bil-madh atau biz-zamm adalah ism yang menjadi objek madh atau zamm. Kedudukannya dalam kalimat adalah selalu sebagai mubtada’ dan fi‘l madh, fi‘l zamm dan fa‘il sebagai khabar.[85] Contoh:
نِعْمَ الصَّدِيْقُ الْكِتَابُ.
Al-Kitab adalah sebagai mubtada’. Ni‘ma dan as-sadiq sebagai khabarnya muqaddam.
Makhsus dapat tidak disebutkan jika telah ada indikatornya, seperti firman Allah SWT:
اِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ (أيوب).[86]
Demikianlah sekilas tentang kaidah nahwiyyah mengenai uslub al-madh dan zamm. Di samping itu menurut ‘Ali Rida ada beberapa kata yang dapat digunakan sebagai kalimat pujian atau celaan di samping arti dasarnya yang bebas tendensi, seperti kata najaha, akrama, ‘azuma, syarr dan lain sebagainya. Kata-kata tersebut dapat digunakan untuk membentuk kalimat pujian atau celaan di samping artinya yang spesifik.[87]
C. Bentuk-Bentuk Uslub Madh dalam Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa uslub adalah metode yang ditempuh mutakallim dalam memilih dan menyusun kalimat. Di sisi lain al-Qur’an adalah hudan lin-nas, maka ia harus mengemas kalimat-kalimatnya dengan khusus agar dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat dan di semua waktu. Dan menjelaskan sesuatu yang baik dengan madh (pujian) merupakan salah satu gaya bahasa al-Qur’an. Uslub memuji dalam al-Qur’an sangat variatif yang dapat digeneralisasikan menjadi dua metode pokok , yaitu: memuji secara leksikal dan memuji secara struktural.
1. Memuji Secara Leksikal
Memuji secara leksikal adalah memuji dengan memakai kata-kata yang secara jelas menunjukkan arti pujian. Ada beberapa kata yang menunjukkan arti memuji yang dipakai untuk memuji dalam al-Qur’an, yaitu: حمد، شكر، نعم، . Adapun penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut:
a. نعم
نعم adalah kata-kata yang khusus digunakan untuk memuji dengan melebihkan yang dipuji dari lainnya, arti yang biasa digunakan dalam bahasa Indonesia adalah sebaik-baik. Dengan melihat artinya saja dapat diketahui bahwa ia tidak dapat berdiri sendiri, sebaliknya ia mempunyai aturan yang khusus yang dalam ilmu nahwu biasa disebut dengan uslub al-madh
Secara kuantitas ni‘ma dalam al-Qur’an disebut sebanyak tujubelas kali yang tersebar pada sebelas surah. Adapun deskripsi secara terperinci adalah sebagai berikut:
|
No.
|
Surah
|
Nass |
Keterengan |
|
1.
|
Ali ‘Imran: 136
Madaniyah
|
نِعْمَ اَجْرُ الْعَامِلِيْنَ
|
Nikmat surga adalah sebaik-baik balasan bagi orang yang taat kepada Allah.
|
|
2.
|
Ali ‘Imran: 173
Madaniyah
|
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
|
Allah adalah sebaik-baik Zat yang melindungi dan Penolong bagi orang yang tawakkal.
|
|
3.
|
Al-Anfal: 40
Madaniyah
|
وَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوْآ اَنَّ اللهَ مَوْلاَكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَ نِعْمَ النَّصِيْرُ
|
Allah adalah sebaik-baik pelindung karena tidak menyia-nyiakan yang dilindungi dan sebaik-baik penolong karena tidak ada yang dapat mengalahkannya.
|
|
4.
|
Ar-Ra‘d: 24
Madaniyah
|
سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارُ
|
Sebaik-baik tempat kesudah-an adalah surga.
|
|
5.
|
An-Nahl: 30
Makkiyah
|
وَلَدَارُ اْلآخِرَةِ خَيْرٌ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِيْنَ
|
Tempat akhirat dengan segala kenikmatannya (surga ‘Adn) adalah sebaik-baik tempat bagi muttaqin
|
|
6.
|
Al-Kahfi: 31
Makkiyah
|
نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا
|
Surga ‘Adn dengan segala kenikmatannya adalah sebaik-baik pahala.
|
|
7.
|
Al-Hajj: 78
Madaniyah
|
هُوَ مَوْلَيكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَ نِعْمَ النَّصِيْرُ
|
Sebaik-baik penolong karena tidak ada yang dapat mengalahkannya
|
|
8.
|
Al-‘Ankabut: 58
Makkiyah
|
نِعْمَ اَجْرُ الْعَامِلِيْنَ
|
Nikmat surga adalah sebaik-baik balasan bagi orang yang taat kepada Allah
|
|
9.
|
As-Saffat: 75
Makkiyah
|
وَلَقَدْ نَادَيْنَا نُوْحٌ فَلَنِعْمَ الْمُجِيْتُوْنَ
|
Allah adalah sebaik-baik Zat yang mengabulkan do’a.
|
|
10.
|
Sad: 30
Makkiyah
|
وَوَهَبْنَا لِدَاوُدَ سُلَبْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ اِنَّهُ اَوَّابُ
|
Sebaik-baik hamba adalah Sulaiman, karena dai banyak bertaubat kepada Allah.
|
|
11.
|
Sad: 44
Makkiyah
|
اِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ اِنَّهُ اَوَّابُ
|
Sebaik-baik hamba adalah Ayub, karena ia banyak bertaubat kepada Allah.
|
|
12.
|
Az-Zumar: 74
Makkiyah
|
فَنِعْمَ اَجْرُ الْعَامِلِبْنَ
|
Nikmat surga adalah sebaik-baik balasan bagi orang yang taat kepada Allah
|
|
13.
|
Az-Zariyat: 48
Makkiyah
|
وَاْلاَرْضَ فَرَشْنَاهَا فَنِعْمَ الْمَاهِدُوْنَ
|
Allah adalah sebaik-baik yang mengham parkan bumi
|
|
14.
|
Al-Mursalat: 23
Makkiyah
|
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُوْنَ
|
Allah adalah sebaik-baik Zat Yang menentukan.[88]
|
Dengan melihat tabel di atas dapat diketahui bahwa makhsus dari uslub memuji dalam al-Qur’an yang memakai kata ni‘ma dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1) Allah, sebagaimana pada poin 2, 3, 7,13 dan 14.
2) Hamba Allah yang taat dan bertaubat, sebagaimana pada poin 9, 10 dan 11.
3). Pahala amal kebajikan, sebagaimana pada poin 1, 4, 5, 6, 8 dan 12.
b. شكر
Al-Hamd atau al-Madhjuga berarti syukur atas sesuatu perbuatan dan terkadang merupakan awalan dari memuji seseorang. مدحته على معروفه sama dengan perkataan شكرته . Hanya saja syukr itu diungkapkan karena adanya ni‘mah terlebih dulu.[89]
Kata syukr dan derivatifnya dalam al-Qur’an secara kuantitas disebut sebanyak tujupuluh enam kali yang tersebar pada tigapuluh lima surah, yaitu pada surah al-Baqarah: 52, 59,152, 158, 172, 185, 243; Ali ‘Imran: 123, 144, 145; an-Nisa’: 147 (2x); al-Ma’idah: 6, 89; al-An‘am: 53, 63; al-A‘raf: 10, 17, 58, 144, 189; al-Anfal: 26; Yunus: 22, 60; Yusuf: 38; Ibrahim: 5, 14 7, 37; an-Nahl: 14, 78, 114, 121; al-Isra’: 3, 19; al-Anbiya’: 80; al-Hajj: 36; al-Mu’minun: 78; al-Furqan: 62; an-Naml: 19 (2x), 40 (2x), 73; al-Qasas: 40, 73; al-‘Ankabut: 17; ar-Rum: 46; Luqman: 12 (3x), 14, 31; as-Sajdah: 9; Saba’: 13 (2x), 15, 19; Fatir: 12, 30, 34; Yasin: 35, 73; az-Zumar: 7, 66; al-Mu’min: 61; asy-Syura: 23, 33; al-Jasiyah: 12; al-Ahqaf: 15; al-Qamar: 35; al-Waqi‘ah: 70; at-Tagabun: 17; al-Mulk: 23; al-Insan: 3, 9, 22. [90]
Peneliti tidak mungkin menyebutkan keseluruhan secara terperinci karena banyak yang mempunyai penekanan arti yang sama, di samping akan memperlebar pembahasan. Oleh karena itulah akan disebutkan beberapa ayat yang dipandang sebagai representasi dari sejumlah syukr.
|
No
|
Surah
|
Nass |
Keterangan
|
|
1.
|
An-Naml
(27): 19
Makkiyah
|
وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِى اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِىْ اَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَى وَالِدَىَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ
|
Nabi sulaiman dalam ayat ini memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya kepadanya dan ayahnya dan agar diberi taufiq untuk dapat selalu berbuat baik yang dapat mendekatkannya ke- pada Allah dan diridai-Nya.
|
|
2.
|
Al-Baqarah
(2): 52
Madaniyah
|
ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
|
Allah mengampuni Bani Isra’il pengikut Nabi Musa setelah mereka berbuat pelanggaran yang sangat fatal agar mensyukuri nikmat Allah dan berbuat taat.
|
|
3.
|
Al-Ma’idah (5): 6
Madaniyah
|
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
|
Perintah untuk wudu, mandi dan tayammum bukan- lah untuk menyulitkan, akan tetapi untuk mensucikan muslimin agar mereka mendapatkan nikmat yang lebih sempurna dari Allah.
|
|
4.
|
Al-Ma’idah (5): 89
Madaniyah
|
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
|
Setelah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya dalam konteks ini adalah hukum-hukum Allah diharapkan muslimin dapat mensyukurinya.
|
|
5.
|
Al-A‘raf
(7): 58
Makkiyah
|
كَذَلِكَ نُصَرِّفُ اْلآيَتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُوْنَ
|
Ayat-ayat kauniah (keala-man) dijelaskan Allah untuk orang-orang yang bersyukur, karena merekalah yang dapat menerimanya dengan fikiran dan hati yang jernih.
|
|
6.
|
Ibrahim
(14): 5
Makkiyah
|
اِنَّ فِى ذَلِكَ لاَيَتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ
|
Tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditampakkan dalam mu‘jizat Nabi Musa merupakan ayat bagi orang yang banyak sabar dan syukur.
|
|
7.
|
Saba’
(34): 19
Makkiyah
|
وَ مَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ اِنَّ فِى ذَلِكَ لاَيَتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ
|
Tercerai-berainya kaum Saba’ dan kehancurannya setelah beberapa lama menikmati kemakmuran merupakan ayat bagi orang yang banyak sabar dan syukur.
|
|
8.
|
Al-Isra’
(17): 19
Makkiyah
|
فَاُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُوْرًا
|
Orang-orang yang berperilaku terpuji dengan ikhlas, amal salih dan iman diterima amalnya oleh Allah.
|
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa syukr sebenarnya merupakan umpan balik dari suatu nikmat yang telah diterima oleh seseorang. Kemudian nikmat itu ada dua, yaitu nikmat konkrit seperti mu‘jizat Nabi Sulaiman dan Musa dan nikmat abstrak seperti sadar dalam mengerti tentang tanda-tanda kekuasaan Allah, baik yang berupa fenomena alam maupun kehancuran dan kemakmuran umat terdahulu. Dengan demikian orang yang bersyukur (berterimakasih) pada hakikatnya memuji kepada yang telah memberinya kenikmatan.
b. الحمد
الحمد adalah pujian yang dipakai dalam al-Qur’an bukan untuk makhluk-Nya, melainkan untuk Allah sendiri. Al-hamd adalah memuji sesuatu yang baik yang berhubungan dengan kehendak yang dipuji.[91]Kata hamd dan derivatifnya dalam al-Qur’an disebut sebanyak enampuluh delapan dalam empatpulih lima surah, yaitu al-Fatihah: 2; al-Baqarah: 30, 267; Ali ‘Imran: 144, 188; an-Nisa’: 131; al-An‘am: 1, 45; al-A‘raf: 43; at-Taubah: 112; Yunus: 10; Hud: 73; ar-Ra‘d:13; Ibrahim: 1, 8, 39; al-Hijr: 98; an-Nahl: 75; al-Isra’: 44, 52, 79, 111; al-Kahfi: 1; Taha: 130; al-Hajj: 24, 64; al-Mu’minun: 28; al-Furqan: 58; an-Naml: 15, 59, 93; al-Qasas: 70; al-‘Ankabut: 63; ar-Rum: 18; Luqman: 12, 25, 26; Sajdah: 15; al-ahzab:40; Saba’: 1 (2x), 6; Fatir: 1, 15, 34; as-Saffat:182; az-Zumar: 29, 74, 75 (2x); al-Mu’min: 7, 55, 65; Fussilat: 42; asy-Syura: 5, 28; al-Jasiyah: 36; Muhammad:2; al-Fath: 29; Qaf: 39; at-Tur: 48; al-Hadid: 24; al-Mumtahanah: 6; as-Saff: 6; at-Tagabun: 1; at-Tagabun: 6; al-Buruj: 8 dan an-Nasr: 3.[92]
Peneliti tidak mungkin menyebutkan keseluruhan secara terperinci karena banyak yang mempunyai penekanan arti yang sama, di samping akan memperlebar pembahasan. Oleh karena itulah akan disebutkan beberapa ayat yang dipandang sebagai representasi dari sejumlah hamd.
|
No.
|
Surah
|
Nass |
Keterangan |
|
1.
|
Al-Fatihah:2
Makkiyah
|
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
|
Allah memuji Zat-Nya sendiri
|
|
2.
|
Al-Baqarah: 30
Madaniyah
|
قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيۤ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
|
Malaikat menyatakan selalu memuji Allah dan mensucikan-Nya.
|
|
3.
|
Ali ‘Imran 188
Madaniyah
|
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوْاْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
|
Orang-orang yang suka dipuji terhadap sesuatu yang tidak mereka kerjakan tidak akan selamat dari azab akhirat.
|
|
4.
|
Al-An‘am: 1
Makkiyah
|
الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثْمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
|
Allah memuji Zat-Nya karena Dia-lah yang menciptakan langit, bumi, gelap dan terang.
|
|
5.
|
Al-An‘am: 45
Makkiyah
|
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
|
Allah memuji Zat-Nya karena Dia-lah yang membinasakan orang yang zalim.
|
|
6.
|
Ibrahim: 39
Makkiyah
|
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَآءِ
|
Ibrahim memuji Allah karena dikaruniai putera yang bernama Isma‘il
|
|
7.
|
Al-Isra’: 44
Makkiyah
|
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً
|
Alam semesta bertasbih kepada Allah dengan memuji-Nya.
|
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan, bahwa kata al-hamd itu diungkapkan oleh Allah yang memuji Zat-Nya sendiri, manusia memuji-Nya, alam semesta memuji-Nya dan orang yang suka mendapat pujian tanpa hak, maka ia hanya akan mendapat azab Allah di akhirat.
2. Memuji secara struktural
Yang dimaksud dengan memuji secara struktural adalah memuji dengan menggunakan struktur kalimat yang mengindikasikan arti memuji. Kata-kata yang tidak mempunyai arti memuji disusun dalam suatu kalimat sehingga mempunyai indikasi arti memuji. Ada beberapa bentuk memuji dengan cara seperti ini dalam al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:
a. Memuji dengan menyebutkan sifat-sifat yang baik bagi yang dipuji, seperti ketita Allah memuji Nabi Muhammad:
وَ اِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ[93]
Ahmad as-Sawy[94] menyatakan, bahwa pujian yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dalam ayat di atas merupakan pujian yang paling besar.
b. Memuji dengan istifham, seperti ketika Allah memuji orang yang mendasarkan bangunannya pada ketakwaan dan keridaanNya dalam firmanNya:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ[95]
c. Memuji dengan janji, seperti ketika Allah memuji hambaNya yang beriman dan beramal salih dengan menjanjikan balasan surga firdaus bagi mereka. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً [96]
d. Memuji dengan menafikan sifat tercela bagi yang dipuji, seperti ketika Allah memuji DiriNya sendiri sebagai ta’liman bagi manusia:
إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئاً وَلَكِنَّ النَّاسَ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ [97]
e. Memuji dengan tasybih, yaitu memuji dengan mempersamakan yang dipuji dengan sesuatu lainnya dalam suatu sifat tertentu,[98] seperti firman Allah:
مَثَلُ ٱلَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [99]
f. Memuji dengan memakai huruf nida’, seperti ketika Allah memuji orang-orang yang beriman dengan seruan agar tidak berkhianat, karena khianat adalah bukan sifat mereka sebagai peringatan.[100]Firman Allah:
يٰأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللهَ والرَّسُولَ وَتَخُونُوۤاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ[101]
D. Bentuk-Bentuk Uslub Zamm dalam Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa uslub adalah metode yang ditempuh mutakallim dalam memilih dan menyusun kalimat. Di sisi lain al-Qur’an adalah hudan lin-nas, maka ia harus mengemas kalimat-kalimatnya dengan khusus agar dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat dan di semua waktu. Dan menjelaskan sesuatu yang tidak baik dengan zamm (celaan) merupakan salah satu gaya bahasa al-Qur’an. Uslub zamm dalam al-Qur’an sangat variatif yang dapat digeneralisasikan menjadi dua metode pokok, yaitu: mencela secara leksikal dan mencela secara struktural.
1. Zamm (Mencela) Secara Leksikal
Mencela secara leksikal adalah mencela dengan memakai kata-kata yang secara jelas menunjukkan arti celaan. Ada beberapa kata yang menunjukkan arti mencela yang dipakai untuk mencela dalam al-Qur’an, yaitu: بِئْسَ، سَاءََ، ذَمَّAdapun penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut:
1. بِئْسَ
Bi’sa adalah salah satu af‘aluz-zamm yang berarti seburuk-buruk. Kata bi’sa dalam ilmu nahwu mempunyai kaidah tersendiri sebagaimana yang telah dijelaskan pada pasal di atas.
Kata bi’sa dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak tigapuluh sembilan kali dalam duapuluh tiga surah, yaitu: al-Baqarah: 90, 93,102, 126, 206; Ali ‘Imran: 12, 151, 162, 187, 197; al-Ma’idah: 62, 63, 79, 80; al-A‘raf: 150; al-Anfal: 16; at-Taubah: 73; Hud: 98, 99; ar-Ra‘d: 18; Ibrahim: 29; an-Nahl: 29; al-Kahfi: 29, 50; al-Hajj: 13 (2x), 72; an-Nur: 57; Sad: 56, 60; az-Zumar: 76; az-Zukhruf: 38; al-Hujurat: 11; al-Hadid: 15; al-Mujadalah: 8; al-Jum‘ah: 5; at-Tagabun: 10; at-Tahrim: 9 dan al-Mulk: 6.[102]
Karena begitu banyak frekuensi penyebutan kata bi’sa dalam al-Qur’an dan banyak yang mempunyai kesamaan konteks, maka penulis akan mendeskripsikan beberapa ayat yang dipandang dapat merepresentasikan keseluruhan, sebagaimana dalam tabel:
|
No
|
Surah
|
Nass |
Keterengan |
|
1.
|
Az-Zukhruf: 38
Makkiyah
|
حَتَّى إِذَا جَآءَنَا قَالَ يٰلَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ ٱلْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ
|
Makhsus bi’sa dalam ayat ini adalah damir “anta” yang merujuk kepada syaitan. Yakni syaitan adalah seburuk-buruk teman. |
|
2.
|
Al-Baqarah: 126
Madaniyah
|
قَالَ وَمَن كَفَرَ فَاُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ اَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
|
Makhsus bi’sa dalam ayat ini adalah damir “hiya” yang merujuk kepada azab neraka yang merupakan konsekuensi dari perbuatan di dunia. |
|
3.
|
Al-Ma’idah: 62
Madaniyah
|
وَتَرَى كَثِيراً مِّنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
|
Makhsus bi’sa dalam ayat ini adalah perbuatan tidak baik, yakni lekas berbuat maksiat, permusuhan dan memakan makanan yang haram atau dengan cara yang haram. |
|
4.
|
Al-Kahfi: 29
Makkiyah
|
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا اَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٍ كَٱلْمُهْلِ يَشْوِي الْوجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقاً
|
Makhsus bi’sa dalam ayat ini adalah damir “huwa” yang merujuk kepada air yang mendidih yang menghangus-kan muka. Yakni seburuk-buruk minuman adalah air yang mendidih yang meng-hanguskan muka. |
|
5.
|
Al-Hajj: 13
Madaniyah
|
يَدْعُو لَمَنْ ضَرُّهُ أَقْرَبُ مِن نَّفْعِهِ لَبِئْسَ الْمَوْلَى وَلَبِئْسَ الْعَشِيرُ
|
Makhsus bi’sa dalam ayat ini adalah damir huwa yang merujuk kepada an-nasir minas-sanam (penolong dari berhala) dan al-‘asyir. Yakni berhala adalah seburuk-buruk penolong dan ia juga seburuk-buruk kawan. |
2. سَاءَ
Kata sa’a berasal dari sa’a – yasu’u – siwa’an yang berarti za qubhin (mempunyai keburukan/ seburuk-buruk). Kemudian diambil sebagai bagian dari uslub zamm. Dengan demikian, ia tidak lagi dapat ditasrif.[103]
Kata sa’a yang termasuk af‘aluz-zamm dalam al-Qur’an disebut sebanyak duapuluh tiga kali dalam delapanbelas surah, yaitu an-Nisa’: 22, 38, 97, 115; al-Ma’idah: 66; al-An‘am: 31, 136; al-A‘raf: 177; at-Taubah: 9; an-Nahl: 25, 59; al-Isra’: 32; al-Kahfi: 29; Taha: 101; al-Furqan: 66; asy-Syu‘ara’: 173; an-Naml: 58; al-‘Ankabut: 4; as-Saffat: 7; al-Jasiyah: 21; al-Fath: 6; al-Mujadalah: 15 dan al-Munafiqun: 2.[104]
Karena begitu banyak frekuensi penyebutan kata sa’a dalam al-Qur’an dan banyak yang mempunyai kesamaan konteks, maka penulis akan mendeskripsikan beberapa ayat yang dipandang dapat merepresentasikan keseluruhan, sebagaimana dalam tabel:
No |
Surah
|
Nass |
Keterengan |
|
1.
|
An-Nisa’: 38
Madaniyah
|
وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَـآءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيناً فَسَآءَ قِرِيناً
|
Makhsus sa’a dalam ayat ini adalah syaitan, yakni syaitan itu seburuk-buruk teman. Setiap orang akan ditemani syaitan yang akan menggodanya di dunia, maka syaitan itu akan bersamanya di neraka.[105] |
|
2.
|
An-Nisa’: 22
Madaniyah
|
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَآءَ سَبِيلاً
|
Makhsus sa’a dalam ayat ini adalah khubsil-‘amal. Yakni orang yang menikahi istri ayahnya (ibunya sendiri) adalah sangat buruk dan ia pasti mendapat zamm dari Allah dan ia telah melakukan hal yang menjijikkan.[106] |
|
3.
|
Al-A‘raf: 176
Makkiyah
|
سَآءَ مَثَلاً الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَأَنفُسَهُمْ كَانُواْ يَظْلِمُونَ
|
Makhsus sa’a dalam ayat ini adalah al-musi’un (orang-orang yang berbuat tidak baik) yang dipakai sebagai contoh, bahwa mereka adalah zalim. |
|
4.
|
Taha: 101-102
Makkiyah
|
مَنْ اَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْراً. خَالِدِينَ فِيهِ وَسَآءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً
|
Makhsus sa’a dalam ayat ini adalah al-wizr (dosa). [107] |
3. ذَمٌّ
Zamm berasal dari kata zamma – yazummu – zamman wa mazammatan yang berarti al-laum fil-isa’ah (mencela untuk menjelekkan). Ism maf‘ul-nya adalah mazmum, zammim dan mazmum.[108]Sedangkan dalam al-Mu‘jam al-Wasit disebutkan, bahwa kata zamm berarti ‘abahu wa lamahu (mencela dan mencercanya).[109]
Kata zamm dalam al-Qur’an hanya disebut tiga kali dalam bentuk ism maf‘ul, yakni mazmum:
|
No
|
Surah
|
Nass |
Keterengan |
|
1.
|
Al-Qalam: 49
Madaniyah
|
لَوْلاَ اَن تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّن رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَآءِ وَهُوَ مَذْمُومٌ
|
Allah menceritakan kepada Muhammad mengenai diselamatkannya Nabi Yunus dari perut ikan. Jika ia tidak segera mendapatkan rahmat Allah, maka ia akan tercela (mazmum). |
|
2.
|
Al-Isra’: 18
Makkiyah
|
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً
|
Orang yang memilih kehidupan dunia dari pada akhirat, maka ia akan dimasukkan ke dalam jahannam dengan tercela. |
|
3.
|
Al-Isra’: 22
Makkiyah
|
لاَ تَجْعَل مَعَ اللهِ إِلَـٰهاً آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُوماً مَّخْذُولاً
|
Allah melarang berbuat syirik. Orang yang melakukan syirik akan dicela oleh Allah. |
2. Mencela secara struktural
Yang dimaksud dengan mencela secara struktural adalah mencela dengan menggunakan struktur kalimat yang mengindikasikan arti mencela. Kata-kata yang tidak mempunyai arti mencela disusun dalam suatu kalimat sehingga mempunyai indikasi arti mencela. Ada beberapa bentuk mencela dengan cara seperti ini dalam al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:
a. Mencela dengan memberikan sifat yang tidak baik kepada mazmum, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوْا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً[110]
Dalam ayat di atas Allah mencela munafiqin dengan melekatkan sifat yang tidak baik kepada mereka, yaitu mereka menipu Allah, malas ketika melaksanakan salat dan bermaksud riya’ serta sedikit menyebut Allah.
Allah juga mencela orang-orang musyrik dalam firman-Nya:
يَآيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْآ اِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُوْا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـٰذَا[111]
Allah mencela orang-orang musyrik sebagai najis, maka mereka tidak layak untuk masuk masjidil-haram.
b. Mencela dengan istifham (pertanyaan), sebagaimana firman Allah SWT:
قُلْ اَغَيْرَ اللهِ اَتَّخِذُ وَلِيّاً فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ يُطْعِمُ وَلاَ يُطْعَمُ قُلْ إِنِّيۤ أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكَينَ[112]
Ayat di atas merupakan penegasan Nabi Muhammad, bahwa tidak layak jika beliau menyembah selain Allah, karena Dia-lah Yang Menjadikan langit dan bumi, Dia Yang memberi makan dan Dia tidak diberi makan. Sedangkan berhala orang-orang kafir Makkah tidak dapat melakukan hal demikian.
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِيۤ آيَاتِنَا لاَ يَخْفَوْنَ عَلَيْنَآ اَفَمَن يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَّن يَأْتِيۤ آمِناً يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[113]
Dalam ayat di atas dipertanyakan apakah orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik, ataukah orang yang datang pada hari kiamat dengan kesentosaan? Pertanyaan ini tentunya tidak membutuhkan jawaban, namun memberi penegasan bahwa orang yang beriman itu lebih mulia dan akan mendapatkan surga, sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah, akan terhina di akhirat.
اَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ اَمْ مَّنْ اَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ[114]
Dalam ayat di atas dipertanyakan apakah orang yang mendirikan masjid di atas pondasi ketakwaan dan keridaan Allah itu lebih baik ataukah orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh. Pertanyaan ini juga tidak membutuhkan jawaban, tetapi lit-taqrir,[115] yakni menetapkan bahwa yang pertama lebih baik dari pada yang kedua. Hal ini juga berarti celaan kepada yang dikalahkan dalam perbandingan, yakni orang yang mendasarkan agamanya pada kesesatan, kekafiran dan kemuniafikan.[116]
c. Mencela dengan menafikan sifat yang baik kepada mazmum, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ اِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ[117]
Ayat di atas merupakan peringatan bagi Muslimin dari kedengkian orang-orang Yahudy dan Nasrany, bahwa mereka itu tidak akan berbuat baik, bahkan selalu tidak rela sehingga kaum Muslimin mengikuti agama mereka.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوْا سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ اَاَنذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ[118]
Orang kafir itu sama saja, apakah mereka diberi peringatan atau tidak, mereka tetap pada kekafirannya.
d. Mencela dengan memberikan ancaman kepada mazmum, sebagaimana firman Allah SWT:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ، وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ[119]
Orang yang tidak khusyu‘ dalam salatnya, bahkan ia juga mengerjakannya dengan riya’ dan tidak mau menolong dicela oleh Allah SWT dengan diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.
هَـذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِي يُكَذِّبُ بِهَا الْمُجْرِمُونَ، يَطُوفُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيمٍ آنٍ[120]
Orang-orang yang selalu berbuat dosa dicela oleh Allah SWT dengan diancam akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam. Mereka akan berkeliling di antara air yang mendidih yang sangat panas.
e. Mencela dengan tasybih, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثُ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا فَٱقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[121]
Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT dibiarkan hidup agar menuruti hawa nafsunya, sehingga dosanya akan bertambah banyak. Mereka itu seperti anjing
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ إِلاَّ دُعَآءً وَنِدَآءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ [122]
Ayat di atas menyerupakan orang kafir dengan binatang yang tidak mengerti arti panggilan penggembalanya.
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّآ اَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ، صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ[123]
Ayat di atas menyerupakan orang munafiq yang tidak dapat mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk Allah yang dibawa Rasulullah SAW diserupakan seperti orang yang menyalakan api. Setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah memadamkannya dan membiarkan mereka dalam kegelapan.
f. Mencela dengan huruf nida’, sebagaimana firman Allah SWT:
يَآ اَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيراً مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُوْا عَن كَثِيرٍ قَدْ جَآءَكُمْ مِّنَ اللهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ[124]
Huruf nida’ (ya ayyuha) dalam ayat di atas disebut nida’ ilahy yang bertujuan untik memberi motivasi kepada mukhatabinagar melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP TUJUAN MADH DAN ZAMM
DALAM AL-QUR’AN
A. Urgensi Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an
1. Urgensi Madh dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menyeru manusia untuk berakhlak yang baik dan terpuji. Maka al-Qur’an menjelaskan prinsip-prinsip ideal untuk dapat diterapkan dalam berperikehidupan, baik dalam tataran religius, sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Seruannya itu tentunya akan segera berinteraksi dengan tatanan masyarakat yang telah berjalan sekian tahun lamanya dalam mempraktekkan kebiasaan dan prinsip-prinsip kehidupan, baik dalam tataran religius, ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Oleh karena itu, seruan itu segera berhubungan erat dengan aspek psikologis suatu kaum yang telah terbentuk karakternya.
Dengan demikian, seruan ini berhadapan dengan karakter bangsa Arab yang sangat berfariasi, di mana karakter itu dalam konteks menerima dan tidaknya terhadap akhlak mulia menurut imam Gazaly ada empat tingkatan:
a. Orang yang mudah dipengaruhi dengan akhlak yang baik, karena ia berbuat tidak baik bukan kesengajaan, tetapi karena ketidaktahuan.
b. Orang yang agak sulit dipengaruhi akhlak yang baik, karena ia telah mengetahui dan sadar akan perbuatannya yang tidak baik, tetapi ia merasa belum mampu meninggalkannya. Orang seperti ini oleh imam Ghazaly disebut orang yang lalai (mughaffal).
c. Orang yang dilahirkan dan berkembang dalam lingkungan yang dalam kondisi dekadensi moral, sehingga jiwanya terbiasa melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan telah menjadi bagian dari hidupnya. Orang seperti ini hampir tidak dapat dipengaruhi dengan akhlak mulia.
d. Orang yang hampir tidak dipengaruhi dengan akhlak mulia, yaitu orang yang membanggakan perbuatan tidak baik.[125]
Dalam konteks seperti ini, al-Qur’an dalam menyerukan dakwahnya tidak semata menggunakan cara yang lugas yang mengandung perintah dan larangan, janji dan ancaman saja, namun juga memakai uslub madh. Bahasa yang lugas yang mengandung perintah dan larangan, janji dan ancaman mungkin efektif diterapkan bagi orang yang hatinya lunak, atau dalam kategorisasi yang diberikan Imam Ghazali adalah dalam kategori nomor 1 dan 2. Namun tidak relevan untuk kategori nomor 3 dan empat, karena akan bertentangan 180 derajat dengan kondisi psikologis mereka. Orang seperti ini harusnya didekati dengan cara yang kooperatif, seperti dengan uslub madh, sehingga mereka akan dapat berfikir sendiri. Maha Benar Allah yang telah berfirman:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِن كُلِّ مَثَلٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ، قُرْآناً عَرَبِيّاً غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ [126]
إِنَّآ أَنْزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ [127]
Kisah islamnya ‘Umar ibn al-Khattab merupakan contoh yang relevan dalam hal ini. ‘Umar adalah orang yang kuat dan berperangai keras. Ia tidak menerima dakwah Rasulullah SAW yang dilakukan secara lugas, bahkan ia berusaha menghentikan dakwah itu. Akan tetapi setelah ia membaca lembaran al-Qur’an yang dibaca Fatimah, maka ia segera mengakui kebenaran Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Adapun lembaran yang dibaca itu adalah permulaan dari surah Taha yang merupakan pujian terhadap al-Qur’an, pujian terhadap orang yang takut kepada-Nya dan pujian kepada Allah SWT. Ayat itu antara lain adalah sebagai berikut:
طه، مَآ أَنَزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى، إِلاَّ تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَى، تَنزِيلاً مِّمَّنْ خَلَق الأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَى، الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى، وَإِن تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى، اللهُ لاۤ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ الأَسْمَآءُ الْحُسْنَى[128]
Taha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di ‘Arsy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dia-lah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al-asma’ul-husna (nama-nama yang baik). [129]
Pujian Allah dalam ayat di atas telah menyentuh perasaan terdalam ‘Umar:
1. Allah menurunkan al-Qur’an bukan untuk menyusahkan Muhammad. Ini juga telah menyentuh perasaan ‘Umar, kenapa ia begitu dengki kepada orang yang tidak mengganggunya. Padahal al-Qur’an itu bukan untuknya, tetapi untuk orang yang takut kepada Allah SWT.
2. Allah yang memiliki segala yang ada di alam ini mengetahui rahasia yang tersembunyi. Maka ‘Umar merasa, bahwa dirinya telah disindir oleh lembaran yang ia baca, yang saat itu ia mengeraskan ucapan disertai amarah dan perasaan dengki.
Dengan uslub madh yang lembut seperti di atas, pikiran dan perasaan ‘Umar tergugah dan hati nuraninya membenarkan pernyataan al-Qur’an. Maka ia segera mengikrarkan keimanannya kepada Allah SWT di hadapan Nabi Muhammad.
2. Urgensi Zamm dalam Al-Qur’an
Sebagaimana al-Qur’an menyeru manusia untuk berbudi luhur dan melaksanakan amal shalih, ia juga melarang manusia untuk berbuat maksiat dan berakhlak buruk. Namun demikian, seruan al-Qur’an itu berhadapan dengan karakter manusia yang telah tertanam sebelum turunnya al-Qur’an. Dan sebagian karakter itu mudah menerima kebenaran dan ada yang keras terhadap perubahan dan kebenaran dengan berbagai alasan dan kepentingan. Maka sebagian mereka ada yang kafir dan sebagian lagi percaya (mukmin) kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dari golongan kafirin ada yang baik, karena menganut kitab suci sebelumnya, seperti kitab Injil dan Taurat. Namun sebagian berada dalam kesesatan akidah dan kemerosotan moral. Di antara golongan mukminin juga ada orang yang berbuat dosa dan berakhlak buruk. Dalam konterks ini, al-Qur’an merupakan kitab undang-undang dan petunjuk bagi kemaslahatan kehidupan manusia, sehingga diharapkan mereka akan dapan menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tentunya al-Qur’an memakai salah satu caranya dengan menggunakan uslub zamm sebagai ancaman dan menakut-nakuti terhadap sesuatu yang dicela agar dijauhi. Dengan demikian, zamm merupakan reaksi dari sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya, dan orang yang melakukan sesuatu yang dicela itu, maka ia akan mendapat celaan dan azab. Allah SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ قُرْآناً عَرَبِيّاً لِتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لاَ رَيْبَ فِيهِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ [130]
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul-Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya, serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.”[131]
Uslub zammdipakai untuk dakwah Islamiyah berada pada fase ketiga setelah memberi kabar gembira. Dalam hal ini zammdigunakan untuk menakut-nakuti dari perbuatan yang melawan ajaran Islam. Allah SWT berfirman:
يٰأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً، وَدَاعِياً إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجاً مُّنِيراً[132]
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”[133]
B. Karakteristik Surah Makkiyah dan Madaniyah
Sebagaimana diketahui, bahwa pada periode Makkiyah Rasulullah SAW berusaha mengenalkan ketauhidan, sehingga orientasi dakwahnya berkutat pada pengenalan Tuhan yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan terhadap banyak berhala. Di samping itu, pada periode Makkiyah ini Rasulullah berusaha menanamkan akhlak yang mulia dan menyeru untuk meninggalkan perbuatan yang tercela yang banyak dilakukan oleh bangsa Arab pada waktu itu.
Setelah Rasulullah SAW melakukan hijrah ke Madinah, fase baru dalam berdakwah segera dimulai. Rasulullah SAW dalam berdakwah mulai masuk pada wilayah hukum (syari‘ah), tatanan sosial, ekonomi dan politik. Hal ini tentunya juga berimbas pada surah al-Qur’an yang diturunkan pada dua periode itu (Makkiyah dan Madaniyah). Manna‘ Khalil al-Qattan mengemukakan karakteristik surah Makkiyah dan Madaniyah dari segi tema dan gaya bahasa sebagai berikut:
1. Karakteristik Surah Makkiyah
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam pertumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan bayi perempuan hidup-hidup dan tradisi buruk lainnya.
c. Menyebutkan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang-orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW, sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
d. Suku katanya pendek-pendek disertai dengan kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafaz-lafaz sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. dan perkecualiannya hanya sedikit.
2. Surah Madaniyah
a. Menjelaskan ‘ibadah, mu‘amalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Nasrany dan Yahudy dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
c. Menyingkap prilaku orang munafiq, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan, bahwa ia berbahaya bagi agama.
d. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syari‘at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.[134]
Perbedaan penekanan pada surah Makkiyah dan Madaniyah seperti di atas tentunya juga berimbas pada uslub madh dan zamm. Dan penekanan itu dapatlah dijadikan sebagai karakteristik bagi uslub madh dan zamm pada ayat Makkiyah dan Madaniyah.
C. Karakteristik Uslub Madh dan Zamm Pada Ayat Makkiyah dan Madaniyah
- Karakteristik Uslub Madh Pada Ayat Makkiyah dan Madaniyah
a. Karakteristik Uslub Madh Pada Ayat Makkiyah
1) Allah memuji Zat-Nya.
Mayoritas uslub madh dalam ayat Makkiyah adalah Allah memuji Zat-Nya sendiri. Allah memuji Zat-Nya sendiri biasanya memakai kata al-hamd, menyebutkan sifat kamaliyah-Nya, menyebutkan asma’ul-husna, dan menafikan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Firman Allah:
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ[135]
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعاً وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ[136]
هُوَ الأَوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ[137]
وَللهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ[138]
Pada ayat pertama (al-Fatihah: 2) yang disebutkan di atas, Allah SWT memuji Zat-Nya dengan kata al-hamd. Pada ayat kedua memakai sifat kamaliyahnya (al-qadiru), pada ayat ketiga memakai asma’ul-husna (al-awwalu, al-akhiru, az-zahirdan al-batin), dan pada ayat keempat menafikan sifat gafil (lalai) pada Allah SWT.
2) Uslub madh sebagai manifestasi penghambaan total.
Orang yang mengucapkan pujian kepada Allah, di samping telah melaksanakan perintah-Nya, juga telah memposisikan dirinya sebagai hamba Allah yang harus mengakui kekuasaan dan ketuhanan-Nya yang diwujudkan dengan taat terhadap apa yang diperintahkan-Nya. Oleh karena itulah al-Alusy manafsirkan surah al-An‘am: 6:
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَتِ وَالنُّوْرَ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ
و معنى استحقاقه تعالى لذاتى عند بعض استحقاقه جل و علا الحمد بجميع اوصافه و افعاله وهو معنى قولهم انه تعالى يستحق العبادة لذاته و انكر هذا صحة توجيه التعظيم و العبادة الى الذات من حيث هى ….ان الناس فى العبادة ثلاث طبقات فالاولى فى الكمال و شرف الذين يعبدونه سبحانه و تعالى لذاته لا لشئ اخر، الثانية هى التى تلى الاولى فى الكمال الذين يعبدون لصفة من صفاته و هى كونه تعالى مستحقا للعبادة، الثالثة: و هى اخر درجات المحققين الذين يعبجونه لتكمل نفوسهم فى الانتساب اليه [139]
3). Uslub madh digunakan untuk menyatakan, bahwa Allah-lah Pemberi nikmat, sebagaimana firman Allah:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَهَبَ لِىْ عَلَ الْكِبَرِ اِسْمَاعِيْلَ وَ اِسْحَقَ اِنَّ رَبِّىْ لَسَمِيْعُ الدُّعَاءِ[140]
وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِى اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِىْ اَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَى وَالِدَىَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ[141]
4) Allah memuji hamba-Nya yang taat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ ٱلْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ[142]
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْداً شَكُوراً[143]
Pada ayat pertama di atas, Allah SWT memuji Nabi Sulaiman yang banyak bertaubat kepada-Nya. Dan pada ayat yang kedua, Allah memuji Nabi Nuh yang banyak bersyukur.
b. Karakteristik Uslub Madh pada Ayat Madaniyah
1). Penegasan uslub madh pada ayat Makkiyah
Khusus uslub madh yang memakai kata al-hamd pada ayat yang diturunkan di Madinah hanya berjumlah lima yang merupakan penegasan al-hamdyang telah disampaikan pada ayat Makkiyah. Ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيۤ أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ [144]
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَ قَبْلَ غُرُوبِهَاوَمِنْ آنَآءِ الْلَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى[145]
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [146]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابَا [147]
لاَ تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوْاْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[148]
Ayat yang terakhir ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang sesuatu masalah. Kemudian mereka menyembunyikannya dan menginformasikannya dengan tidak tepat (sebaliknya) dan mereka senang dengan apa yang mereka dapatkan, yakni menyembunyikan apa yang mereka tanyakan kepada Nabi SAW.[149]
Uslubmadh yang memakai kata ni‘ma, dan syukr serta uslub secara struktural juga merupakan penegasan yang telah disampaikan pada ayat Makkiyah, seperti ketika Allah menyatakan, bahwa nikmat surga adalah sebaik-baik pahala pada surah al-Kahfi: 31, maka pernyataan ini ditegaskan kembali pada ayat Madaniyah surah Ali ‘Imran: 136, bahwa nikmat surga itu sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang taat kepada Allah SWT.[150]
2). Pada umumnya uslub madh digunakan untuk menunjukkan sifat atau karakter yang baik dan mu‘amalah dan hukum yang ideal. Seperti ketika Allah SWT memuji Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ[151]
Sebenarnya ada penekanan tersendiri dalam uslub madh pada ayat Madaniyah, yaitu suatu pujian yang bernada demonstratif sebagai bentuk peletakan ciri khas Islam yang kokoh dan diketahui semua pihak, baik kalangan muslimin maupun kafirin. Hal ini juga tampak ketika Allah SWT mengumumkan, bahwa pihak muslimin yang paling bertakwalah yang paling utama di antara penduduk dunia, sebagaimana firman-Nya:
يٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۤاْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ[152]
- Karakteristik Uslub Zamm Pada Ayat Makkiyah dan Madaniyah
a. Karakteristik Uslub Zamm Pada Ayat Makkiyah
1) Uslub zamm digunakan sebagai inzar dari azab neraka akibat ketidaktaatan kepada perintah Allah SWT dan juga pencelaan terhadap godaan syaitan yang menyesatkan. Hal ini terlihat pada makhsus bi’sapada surah al-Kahfi: 29, az-Zukhruf: 38, sebagaimana yang dapat dilihat di bawah ini:
حَتَّى إِذَا جَآءَنَا قَالَ يٰلَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ ٱلْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ [153]
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا اَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٍ كَٱلْمُهْلِ يَشْوِي الْوجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقاً[154]
Perlu diketahui, bahwa kata bi’sa dalam al-Qur’an yang berjumlah tigapuluh sembilan, hanya enam kata yang digunakan pada ayat Makkiyah.
2) Uslub zamm dipakai untuk menjelaskan perilaku orang yang buruk amalnya, seperti dalam firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِيۤ آيَاتِنَا لاَ يَخْفَوْنَ عَلَيْنَآ اَفَمَن يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَّن يَأْتِيۤ آمِناً يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[155]
Dalam ayat di atas dipertanyakan apakah orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik, ataukah orang yang datang pada hari kiamat dengan kesentosaan? Pertanyaan ini tentunya tidak membutuhkan jawaban, namun memberi penegasan bahwa orang yang beriman itu lebih mulia dan akan mendapatkan surga, sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah, akan terhina di akhirat.
اَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ اَمْ مَّنْ اَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ[156]
Pertanyaan dalam ayat di atas tidak membutuhkan jawaban, tetapi lit-taqrir,[157] yakni menetapkan bahwa orang yang mendirikan masjid di atas pondasi ketakwaan dan keridaan Allah itu lebih baik dari pada orang yang mendirikan bangunanya di tepi jurang yang runtuh. Hal ini juga berarti celaan kepada orang yang mendasarkan agamanya pada kesesatan, kekafiran dan kemunafikan.[158]
3) Uslubzamm digunakan untuk mencela kebatilan penyembahan selain Allah SWT dan pendustaan ayat-ayat-Nya, sebagaimana firman-Nya:
سَآءَ مَثَلاً الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَأَنفُسَهُمْ كَانُواْ يَظْلِمُونَ[159]
مَنْ اَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْراً. خَالِدِينَ فِيهِ وَسَآءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً[160]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa zammpada ayat-ayat Makkiyah lebih banyak berorientasi teologis, yakni memantapkan ‘aqidah mukminin dengan disertai inzar neraka dan kewaspadaan terhadap godaan syaitan dan menjauhi perbuatan tidak taat kepada Allah SWT.
b. Karakteristik Uslub Zamm Pada Ayat Madaniyah
1) Uslubzamm pada ayat Madaniyah sebagai penegasan dari zamm yang telah disampaikan pada ayat Madaniyah, seperti ketika Allah mencela neraka sebagai tempat yang paling buruk pada surah al-Kahfi: 29 sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Allah SWT menegaskan kembali pada ayat Madaniyah, sebagaimana firman-Nya:
قَالَ وَمَن كَفَرَ فَاُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ اَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ[161]
Makhsus bi’sadalam ayat ini adalah damir “hiya” yang merujuk kepada azab neraka yang merupakan konsekuensi dari perbuatan di dunia.
2) Uslubzamm digunakan sebagai penjelasan terhadap karakter yahudy, sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَرَى كَثِيراً مِّنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَٱلْعُدْوَانِ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ[162]
Bahwa orang-orang Yahudy mempunyai karakter cepat berbuat dosa, permusuhan dan memakan makanan yang haram. Maka perbuatan mereka itu seburuk-buruk perbuatan.
3) Uslubzamm digunakan untuk menjelaskan perbuatan melanggar hukum syara‘, seperti ketika Allah SWT menjelaskan tentang orang-orang yang memakan riba yang diperumpamakan seperti orang yang gila karena kemasukan syaitan, sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوۤاْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهِ فَٱنْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى ٱللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ[163]
Dari penjelasan di atas dapat disimpullkan, bahwa uslub zamm pada ayat-ayat Madaniyah telah mengarah kepada publikasi ajaran Islam, baik ‘aqidah, ‘ibadah maupun mu‘amalah secara lebih transparan. Kebatilan dan perilaku buruk non muslim secara tegas dijelaskan secara inklusif.
D. Tujuan Madh dan Zamm dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab dakwah Islamiyah yang menurut Mahmud Zahran[164] al-Qur’an yang berisi 114 surah itu mengandung masalah-masalah ‘aqidah, ‘ibadah, mu‘amalah dan kisah. Sementara itu, tidak dapat dipungkiri, bahwa al-Qur’an merupakan susunan bahasa yang tidak terlepas dari kaidah gramatikal bahasa verbal-konvensional, akan tetapi al-Qur’an mempunyai kelebihan gaya bahasa yang bervariasi dan mengandung daya i‘jaz. Oleh karena itu, al-Qur’an mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang-orang ‘Arab.
Sayyid Qutb menyatakan, bahwa beberapa surah al-Qur’an telah menjadi daya tarik orang-orang Arab pada fase awal dakwah Islamiyah. Maka sebagian mereka beriman karena pesona ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian mereka beriman karena terpengaruh oleh akhlak mulia Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Sebagian mereka beriman karena melihat kesabaran mukminin dalam menanggung derita; disiksa, dikucilkan, meningalkan keluarga, kawan dan harta untuk mendekat pada Tuhan. Sebagian mereka beriman karena tertarik dengan hukum Islam yang penuh dengan keadilan dan toleransi. Dan sebagian lagi beriman dengan berbagai cara. Terkadang al-Qur’an dengan kekayaan gaya bahasanya menjadi faktor daya tarik tersendiri, meskipun tidak merupakan faktor penentu satu-satunya.
Di antara gaya bahasa al-Qur’an itu adalah menyampaikan pesan ilahiah melalui uslub madhdan zamm.
Dengan demikian, uslub madh dan zamm tidak akan keluar dari konteks ‘aqidah, ‘ibadahdan mu‘amalah. Adapun penjelasan mengenai tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an akan dibahas dalam pasal berikut.
- Tujuan Madh dalam al-Qur’an
a. Ta‘lim
Yang dimaksud dengan ta‘lim adalah pengajaran Allah SWT kepada hamba-Nya. Pengajaran dengan uslub madh ini ada beberapa hal, yaitu:
1) Allah memuji Zat-Nya sendiri agar manusia memuji-Nya. Hal ini sangat banyak ditemukan dalam al-Qur’an, seperti:
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ[165]
هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِىءُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأَسْمَآءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ[166]
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ[167]
Kenapa Alah memuji Zat-Nya sendiri? Hal ini dilakukan untuk mengajari manusia agar memuji-Nya. Sedangkan memuji merupakan pengakuan awal bagi yang dipuji. Orang tidak akan memuji sesuatu, jika tidak mengakui kelebihan sesuatu itu. Oleh karena itulah Allah selalu menggabungkan kata al-Hamd dengan kekuasaan-Nya, seperti dalam surah al-Fatihah disambung dengan sifat: Rabbil ‘alamin. Dengan demikian segala yang ada di alam ini adalah ciptaan-Nya dan sekaligus menjadi bukti adanya Allah.
Di samping itu, Allah SWT memuji Zat-Nya sendiri untuk memberi penjelasan tentang ‘aqidah tauhidiyyah, bahwa Allah-lah Tuhan Yang Maha Esa, Yang menciptakan segalanya dan berhak disembah oleh semua makhluk.
2) Allah memuji hamba-Nya yang beriman, taat, beramal salih dan berakhlak mulia agar menirukan sikap mereka,[168] seperti ketika Allah SWT memuji sikap Nabi Muhammad dan para sahabatnya, memuji Muhajirin dan Ansar, serta memuji hamba-hamba-Nya yang lain baik dari kalangan Nabi maupun salihin.
مُحَمَّدٌ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ[169]
Allah memuji Rasulullah SAW dan mu’minin yang bersamanya sebagaimana orang yang tegas terhadap kuffar, tetapi bersifat kasih sayang terhadap sesama mereka; mereka dalam kesatuan dan kesamaan memurnikan sujud dan ruku‘ untuk mencari karunia dan keridaan Allah SWT. Ayat ini menurut al-Qurtuby merupakan pujian terhadap mu’minin generasi awal, seperti juga terdapat dalam firman Allah SWT:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَداً ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ[170]
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ[171]
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَاناً [172]
Semua ayat di atas merupakan penghargaan Allah SWT yang tinggi kepada mereka. Allah SWT Maha Tahu terhadap kondisi mereka dan mengungkapkannya dalam al-Qur’an disertai pujian agar semua mu’minin mengerti dan mencontoh mereka.
Menurut Mahmud Syaltut, uslub madh memberikan perhatian dan bimbingan terhadap sesuatu yang menjadi pujian. Uslubini sangat kuat dalam jiwa, dapat mendekatkan sesuatu yang jauh dan menyatukan sesuatu yang tercerai berai.[173]
3) Allah menjelaskan hamba-Nya yang pandai memuji-Nya, bahkan semua benda pun memuji-Nya, agar mu’minin menyadari, bahwa hanya Allah SWT saja yang layak mendapatkan pujian dan agar mereka tidak merasa sombong, karena semua itu dari-Nya. Hal ini seperti terlihat pada ayat-ayat berikut ini:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ ٱلسَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً[174]
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ[175]
b. Memberi motivasi (targib)
Dengan uslub madh, Allah SWT melalui al-Qur’an memberi motivasi kepada manusia agar melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan pujian, dan terkadang disertai janji (al-wa‘d) konkrit, seperti diampuni dosannya, diberi pahala, dimasukkan surga dan lain-lain, seperti firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ غُرَفَاً تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ، الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ[176]
At-Tihamy Naqrah menyatakan dalam desertasinya, bahwa al-Qur’an dalam metodenya tidak mengemukakan ‘aqidah Islamiyah sebagai teori-teori ilmiah yang membutuhkan kajian secara sistematis, karena hal ini tidak dapat menjangkau keseluruhan manusia dan juga tidak memberikan pengaruh terhadap jiwa. [177]
Al-Qur’an mengemukakan ‘aqidah Islamiyah melalui berbagai gaya bahasa yang sangat variatif, sehingga dapat menyentuh jiwa dan pikiran manusia dari berbagai kalangan. Motivasi yang disampaikannya pun tidak terbatas pada perbuatan (‘amaliyah) saja, akan tetapi juga pada rangsangan untuk berpikir mengenai fenomena alam. Dengan mengetahui fenomena alam, seorang akan menyadari adanya Pencipta Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Allah SWT berfirman:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِيۤ أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ، أَلاَ إِنَّهُمْ فِي مِرْيَةٍ مِّن لِّقَآءِ رَبِّهِمْ أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيطُ[178]
c. Memberi dukungan moral
Uslub madh bertujuan memberi dukungan moral agar tetap tegar menghadapi rintangan untuk melaksanakan kebaikan, seperti halnya ketika Allah SWT menceritakan kesabaran para Nabi-Nya kepada Rasulullah SAW, maka tujuannya adalah agar beliau tatap tegar dan tidak putus asa dalam menjalankan dakwah Islamiyah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
وَكُـلاًّ نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَآءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ[179]
Al-hudur al-ilahy dalam setiap langkah para Nabi dan orang-orang salih merupakan hal yang sangat penting dalam pesan kisah al-Qur’an. Dengan keyakinan al-hudur al-ilahy mu’minin akan selalu berani dan tenteram melaksanakan perintah-Nya, meskipun dengan berbagai halangan.
- Tujuan Zamm dalam al-Qur’an
Uslub zammsebagaiamana uslub madh, mempunyai beberapa tujuan tersendiri. Zamm dalam al-Qur’an bukan untuk menumbuhkan kebencian terhadap seseorang, namun orientasinya kepada sifat yang tidak terpuji yang melekat padanya. Oleh karena itu, jika sifat itu berubah, maka ia juga berubah dari mazmum (tercela) menjadi mamduh (terpuji), seperti firman Allah SWT:
اولَـٰئِكَ جَزَآؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللهِ وَالْمَلاۤئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ ٱلْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنظَرُونَ، إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن بَعْدِ ذٰلِكَ وَأَصْلَحُواْ فَإِنَّ الله غَفُورٌ رَّحِيمٌ[180]
Ayat di atas menjelaskan, bahwa orang-orang yang kafir setelah mereka beriman, maka akan mendapatkan laknat dari Allah SWT, malaikat dan seluruh manusia. Kecuali orang yang bertaubat setelah melakukan perbuatan itu dan berbuat kebaikan, maka Allah SWT mengampuninya.
Adapun tujuan zamm dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. At-Tahqir
Uslub zamm dalam al-Qur’an digunakan untuk menghinakan orang-orang yang berbuat dosa. Maka Allah SWT menghinakan kafirin, mempertunjukkan amal buruk mereka dan sebab perbuatan mereka, Allah merendahkan dan mengazab mereka. Allah SWT berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ ٱلْعَذَابَ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً[181]
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثُ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا فَٱقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[182]
Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah SWT dibiarkan hidup agar menuruti hawa nafsunya, sehingga dosanya akan bertambah banyak. Mereka itu seperti anjing
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لاَ يَسْمَعُ إِلاَّ دُعَآءً وَنِدَآءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ [183]
Ayat di atas menyerupakan orang kafir dengan binatang yang tidak mengerti arti panggilan penggembalanya.
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّآ اَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ، صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ[184]
Ayat di atas menyerupakan orang munafiq yang tidak dapat mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk Allah yang dibawa Rasulullah SAW diserupakan seperti orang yang menyalakan api. Setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah memadamkannya dan membiarkan mereka dalam kegelapan.
b. Tarhib
Dengan uslub zamm, Allah SWT menakut-nakuti (tarhib) manusia pada umumnya dan muslimin pada khususnya agar tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan timbulnya celaan-Nya, karena celaan-Nya tidak lain adalah azab.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang mengandung tarhib, karena memang salah satu misi risalah Rasulullah SAW adalah sebagai nazir, yakni pemberi peringatan, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ بِٱلْحَقِّ بَشِيراً وَنَذِيراً وَإِن مِّنْ أُمَّةٍ إِلاَّ خَلاَ فِيهَا نَذِيْرٌ[185]
TarhibAllah SWT ini dapat dijadikan sebagai kontrol diri bagi orang-orang yang beriman agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Namun tarhib ini tidak bermanfaat bagi orang-orang kafir yang telah dikunci mati hati nuraninya oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ[186]
c. Menggambarkan sifat azab Allah SWT dan sifat tercela yang bersifat abstrak sebagai sesuatu yang lebih konkrit, sehingga mudah dipahami, seperti firman Allah SWT:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَٱسْتَكْبَرُواْ عَنْهَا لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ ٱلسَّمَآءِ وَلاَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ ٱلْجَمَلُ فِي سَمِّ ٱلْخِيَاطِ وَكَذٰلِكَ نَجْزِي ٱلْمُجْرِمِينَ، لَهُمْ مِّن جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَمِن فَوْقِهِمْ غَوَاشٍ وَكَذٰلِكَ نَجْزِي ٱلظَّالِمِينَ[187]
Allah menggambarkan orang-orang kafir tidak akan diterima di sisi Allah SWT, tidak akan masuk surga, karena hal ini adalah mustahil bagi mereka. Sesuatu pernyataan yang abstrak ini diungkapkan dalam ayat di atas secara konkrit, yakni ketidakmungkinan itu digambarkan onta yang akan masuk lobang jarum.
Sadaqah yang dilandasi riya’ dan yang diikuti dengan mann dan aza digambarkan dalam firman Allah SWT:
يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلأَذَىٰ كَٱلَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَٱللَّهُ لاَ يَهْدِي ٱلْقَوْمَ ٱلْكَافِرِينَ[188]
Orang yang bersadaqah dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan penerimanya, seperti keadaan orang yang riya’ dan tidak beriman kepada Allah SWT dan hari akhir. Orang ini diibaratkan seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu terkena hujan lebat, maka hilanglah semua tanah itu. Demikianlah amal orang seperti di atas tidak diterima di sisi Allah SWT.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai madh dan zamm dalam al-Qur’an dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Uslub al-Qur’an adalah metodenya yang eksellen dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Uslub al-Qur’an mempunyai karakteristik, yaitu: sentuhan lafaz al-Qur’an melalui keindahan intonasi al-Qur’an dan keindahan bahasa al-Qur’an, dapat diterima semua lapisan masyarakat, al-Qur’an menyentuh (diterima) akal dan perasaan, keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an dan kekayaan seni redaksional.
2. Madh dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an untuk menjelaskan hal-hal yang baik, memberi penghormatan dan rasa senang terhadap yang dipuji dengan tujuan agar diikuti. Ada beberapa sinonim madh,yaitu sana’, hamd, syukr, dan ni‘ma. Namun demikian, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali lafaz madh, syukr dan ni’ma.
Uslub memuji dalam al-Qur’an sangat variatif yang dapat digeneralisasikan menjadi dua, yaitu:
a. Memuji secara leksikal, yaitu memuji dengan memakai kata-kata yang secara jelas menunjukkan arti pujian. Ada beberapa kata yang menunjukkan arti memuji yang dipakai untuk memuji dalam al-Qur’an, yaitu: hamd, syukr danni‘ma.
b. Memuji secara struktural, yaitu memuji dengan menggunakan struktur kalimat yang mengindikasikan arti memuji. Kata-kata yang tidak mempunyai arti memuji disusun dalam suatu kalimat sehingga mempunyai indikasi arti memuji. Ada beberapa bentuk memuji dengan cara seperti ini dalam al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:
1) Memuji dengan menyebutkan sifat-sifat yang baik bagi yang dipuji.
2) Memuji dengan istifham.
3) Memuji dengan janji.
4) Memuji dengan menafikan sifat tercela bagi yang dipuji.
5) Memuji dengan tasybih, yaitu memuji dengan mempersamakan yang dipuji dengan sesuatu lainnya dalam suatu sifat tertentu.
6) Memuji dengan memakai huruf nida’, yang disebut nida’ ilahy.
Sedangkan zamm dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an untuk mengungkapkan hal-hal yang buruk, baik dari Allah kepada seorang, suatu kaum atau sesuatu maupun dari orang kafir kepada rasul Allah atau kepada-Nya. Uslub zamm dalam al-Qur’an sangat variatif yang dapat digeneralisasikan menjadi dua, yaitu:
a. Zamm (mencela) secara leksikal, yaitu mencela dengan memakai kata-kata yang secara jelas menunjukkan arti celaan. Ada beberapa kata yang menunjukkan arti mencela yang dipakai untuk mencela dalam al-Qur’an, yaitu: bi’sa, sa’adan zamm.
b. Mencela secara struktural, yaitu mencela dengan menggunakan struktur kalimat yang mengindikasikan arti mencela. Kata-kata yang tidak mempunyai arti mencela disusun dalam suatu kalimat sehingga mempunyai indikasi arti mencela. Ada beberapa bentuk mencela dengan cara seperti ini dalam al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:
1) Mencela dengan memberikan sifat yang tidak baik kepada mazmum.
2) Mencela dengan istifham (pertanyaan).
3) Mencela dengan menafikan sifat yang baik kepada mazmum.
4) Mencela dengan memberikan ancaman kepada mazmum.
5) Mencela dengan tasybih.
6) Mencela dengan huruf nida’ yang disebut nida’ilahy.
3. Adapun tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Madhdalam al-Qur’an adalah:
1) Ta‘lim, yaitu pengajaran Allah SWT kepada hamba-Nya agar memuji-Nya dan mencontoh sesuatu yang dipuji.
2) Memberi motivasi (targib) kepada manusia agar melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan pujian.
3) Memberi dukungan moral kepada mu’minin agar tetap tegar menghadapi rintangan untuk melaksanakan kebaikan, karena setiap saat ia merasakan adanya al-hudur al-ilahy.
b. Tujuan Zamm dalam al-Qur’an adalah:
1) At-Tahqir, yakni menghinakan orang-orang yang berbuat dosa.
2) Tarhib, yakni menakut-nakuti (tarhib) manusia pada umumnya dan muslimin pada khususnya agar tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan timbulnya celaan Allah SWT, karena celaan-Nya tidak lain adalah azab.
3) Menggambarkan sifat azab Allah SWT dan sifat tercela yang bersifat abstrak sebagai sesuatu yang lebih konkrit, sehingga mudah dipahami.
B. Saran-Saran
Madh dan zamm selalu ditemukan dalam hampir semua surah al-Qur’an. Maka hendaknya masalah ini dikaji lebih mendalam, karena sangat erat hubungannya dengan aspek psikologis manusia.
Orang yang bijak adalah orang yang mampu menghargai kelebihan dan kebaikan orang lain, meskipun hanya dengan pujian. Dan orang yang sabar adalah yang dapat menahan emosinya untuk mencela orang lain.
Demikianlah skripsi kami tulis, meskipun penulis telah mencurahkan segenap kemampuan, namun penulis yakin masih ada beberapa kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca selalu penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya wallahu a‘lam bis-sawab.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai madh dan zamm dalam al-Qur’an dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
2. Uslub al-Qur’an adalah metodenya yang eksellen dalam menyusun kalimat-kalimatnya dan pemilihan lafaz-lafaznya. Uslub al-Qur’an mempunyai karakteristik, yaitu: sentuhan lafaz al-Qur’an melalui keindahan intonasi al-Qur’an dan keindahan bahasa al-Qur’an, dapat diterima semua lapisan masyarakat, al-Qur’an menyentuh (diterima) akal dan perasaan, keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an dan kekayaan seni redaksional.
2. Madh dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an untuk menjelaskan hal-hal yang baik, memberi penghormatan dan rasa senang terhadap yang dipuji dengan tujuan agar diikuti. Ada beberapa sinonim madh,yaitu sana’, hamd, syukr, dan ni‘ma. Namun demikian, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali lafaz madh, syukr dan ni’ma.
Uslub memuji dalam al-Qur’an sangat variatif yang dapat digeneralisasikan menjadi dua, yaitu:
a. Memuji secara leksikal, yaitu memuji dengan memakai kata-kata yang secara jelas menunjukkan arti pujian. Ada beberapa kata yang menunjukkan arti memuji yang dipakai untuk memuji dalam al-Qur’an, yaitu: hamd, syukr danni‘ma.
b. Memuji secara struktural, yaitu memuji dengan menggunakan struktur kalimat yang mengindikasikan arti memuji. Kata-kata yang tidak mempunyai arti memuji disusun dalam suatu kalimat sehingga mempunyai indikasi arti memuji. Ada beberapa bentuk memuji dengan cara seperti ini dalam al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:
7) Memuji dengan menyebutkan sifat-sifat yang baik bagi yang dipuji.
8) Memuji dengan istifham.
9) Memuji dengan janji.
10) Memuji dengan menafikan sifat tercela bagi yang dipuji.
11) Memuji dengan tasybih, yaitu memuji dengan mempersamakan yang dipuji dengan sesuatu lainnya dalam suatu sifat tertentu.
12) Memuji dengan memakai huruf nida’, yang disebut nida’ ilahy.
Sedangkan zamm dalam al-Qur’an adalah gaya bahasa (uslub) al-Qur’an untuk mengungkapkan hal-hal yang buruk, baik dari Allah kepada seorang, suatu kaum atau sesuatu maupun dari orang kafir kepada rasul Allah atau kepada-Nya. Uslub zamm dalam al-Qur’an sangat variatif yang dapat digeneralisasikan menjadi dua, yaitu:
a. Zamm (mencela) secara leksikal, yaitu mencela dengan memakai kata-kata yang secara jelas menunjukkan arti celaan. Ada beberapa kata yang menunjukkan arti mencela yang dipakai untuk mencela dalam al-Qur’an, yaitu: bi’sa, sa’a dan zamm.
c. Mencela secara struktural, yaitu mencela dengan menggunakan struktur kalimat yang mengindikasikan arti mencela. Kata-kata yang tidak mempunyai arti mencela disusun dalam suatu kalimat sehingga mempunyai indikasi arti mencela. Ada beberapa bentuk mencela dengan cara seperti ini dalam al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:
1) Mencela dengan memberikan sifat yang tidak baik kepada mazmum.
2) Mencela dengan istifham (pertanyaan).
3) Mencela dengan menafikan sifat yang baik kepada mazmum.
4) Mencela dengan memberikan ancaman kepada mazmum.
5) Mencela dengan tasybih.
6) Mencela dengan huruf nida’ yang disebut nida’ilahy.
3. Adapun tujuan madh dan zamm dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Madhdalam al-Qur’an adalah:
4) Ta‘lim, yaitu pengajaran Allah SWT kepada hamba-Nya agar memuji-Nya dan mencontoh sesuatu yang dipuji.
5) Memberi motivasi (targib) kepada manusia agar melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan pujian.
6) Memberi dukungan moral kepada mu’minin agar tetap tegar menghadapi rintangan untuk melaksanakan kebaikan, karena setiap saat ia merasakan adanya al-hudur al-ilahy.
b. Tujuan Zamm dalam al-Qur’an adalah:
1) At-Tahqir, yakni menghinakan orang-orang yang berbuat dosa.
2) Tarhib, yakni menakut-nakuti (tarhib) manusia pada umumnya dan muslimin pada khususnya agar tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan timbulnya celaan Allah SWT, karena celaan-Nya tidak lain adalah azab.
3) Menggambarkan sifat azab Allah SWT dan sifat tercela yang bersifat abstrak sebagai sesuatu yang lebih konkrit, sehingga mudah dipahami.
B. Saran-Saran
Madh dan zamm selalu ditemukan dalam hampir semua surah al-Qur’an. Maka hendaknya masalah ini dikaji lebih mendalam, karena sangat erat hubungannya dengan aspek psikologis manusia.
Orang yang bijak adalah orang yang mampu menghargai kelebihan dan kebaikan orang lain, meskipun hanya dengan pujian. Dan orang yang sabar adalah yang dapat menahan emosinya untuk mencela orang lain.
Demikianlah skripsi kami tulis, meskipun penulis telah mencurahkan segenap kemampuan, namun penulis yakin masih ada beberapa kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca selalu penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya wallahu a‘lam bis-sawab.
[1] Manna’ al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad: Manysurat al-‘Asr al-Hadis, 1972), hlm. 264.
[2] Abdul-Majid as-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer, penerjemah: Moh. Maghfur Wachid, (Bangil : al-Izzah, 1997), hal. 258.
[3] Aminuddin, Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru, 1988), hlm. 15.
[4] Aminuddin, Pengantar Studi…,hlm. 106
[5] ‘Abdul-Gaffar Hamid Hilal, ‘Ilmul-Lugah Bainal-Qadim wal-Hadis, (Kairo: Dar al-Kutub, 1986), hlm. 195.
[6] QS al-Fatihah: 2.
[7] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Ma‘anihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.), hlm. 5.
[8]QS al-Anfal: 40.
[9] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 266.
[10]QS al-Qalam: 4.
[11] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm 960.
[12]QS al-Isra’: 1.
[13] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…,hlm. 424.
[14] QS al-Hujurat: 11.
[15] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…,hlm. 847.
[16] QS an-Nisa’: 38.
[17] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…,hlm. 124.
[18]QS Fussilat: 40.
[19] Mujamma‘ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…,hlm. 779.
[20] Moh. Nazir, Metode Penelitian , (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 41.
[21] Anton Bakker, Metodologi Research, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 10.
[22] ‘Abdul-Hay al-Farmawy, al-Bidayah fit-Tafsir al-Maudu‘iy, (Mesir: Matba‘atul-Hadarat al-‘Arabiyah, 1977), hlm. 62.
[23] Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 27.
[24] Louis Kattsoff,Pengantar Filsafat, terjemahan Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hlm. 18
[25] Munawwir Abdul Fattah dan Adib Bisyri, Kamus al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 335
[26] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan fi ‘Ulumil-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ihya’, t.t.), hlm. 198.
[27] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 441.
[28] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan…,hlm. 198.
[29] Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 297.
[30] Ibid, hlm. 199.
[31] ‘Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, al-Balagah al-Wadihah, (Mesir: Dar al-Ma‘arif, t.t.), hlm. 12.
[32] Ibid., hlm 15.
[33] Ibid.
[34] ‘Ali al-Jarim dan Mustafa Amin, al-Balagah…, hlm. 152.
[35] QS al-An‘am: 125.
[36] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Ma‘anihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.), hlm. 208.
[37] Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid VII, hlm. 80.
[38] Ibid.
[39] Ibid., hlm. 81.
[40] ‘Abdul Hamid Dayyab dan Ahmad Qurquz, Ma’at-Tibb fil-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mu’assasatu ‘Ulumil-Qur’an, 1982), hlm. 21.
[41] QS az-Zumar: 28.
[42] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 750.
[43] Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtuby, al-Jami’… jilid XV, hlm. 251.
[44] QS az-Zukhruf : 3.
[45] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 794.
[46] Manna‘al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad : Manysurah al-‘Asr al-Hadis, 1972), hlm. 264.
[47] QS al-Muddassir: 1-7, 18-25.
[48] QS al-Hijr: 9.
[49] QS al-Qiyamah: 3-4.
[50] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 998
[51] ‘Abdul Hamid Dayyab dan Ahmad Qurquz, Ma‘at-Tibb…, hlm. 23.
[52] Ibid.
[53] QS al-Ahzab: 4.
[54] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm. 666.
[55] QS Qaf: 6-11
[56] Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan…,hlm. 212.
[57] QS al-Baqarah: 1-8.
[58] QS an-Nahl: 90.
[59] QS al-Baqarah: 178.
[60] QS Ali ‘Imran: 97.
[61] QS al-Baqarah: 228.
[62] QS al-Baqarah: 238.
[63] QS al-Ahzab: 50.
[64] QS al-Baqarah: 196.
[65] QS al-Baqarah: 220.
[66] Muhammad al-Hudhary, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, (Singapura: Al-Haramain, t.t.), hlm. 28-30.
[67] QS al-Baqarah: 245.
[68] QS al-Baqarah: 261.
[69] QS al-Anfal: 40.
[70] QS Sad: 30
[71] QS al-Hujurat: 11.
[72] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid II, hlm. 857.
[73] Ibn Manzur, Lisanul-‘Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
[74] Ahmad as-Sayib, al-Uslub; Dirasah Balagiyah Tahliliyah al-Asalib al-Adabiyah, (t.t.p.: t.p., t.t.), hlm. 88.
[75] Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 794.
[76] Ibid, hlm. 199.
[77] Ibn Manzur, Lisan…, hlm. 512.
[78] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam…, jilid I, hlm. 315.
[79] Ahmad as-Sayib, al-Uslub…, hlm. 88.
[80] Fu’ad Ni’mah, Mulakhkhas Qawa’idil-lugah al-‘Arabiyah, (Damaskus: Dar al-Hikmah, t.t.), jilid I, hlm. 176.
[81] Mustafa al-Galayaini, Jami’ud-Durus la-‘Arabiyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, 1987), jilid I, hlm. 74.
[82] Fu’ad Ni’mah, Mulakhkhas…, hlm. 181.
[83] QS al-Hujurat: 11.
[84] QS al-Hajj: 30.
[85] Fu’ad Ni‘mah, Mulakhkhas…, hlm. 184.
[86] QS al-Qasas: 44.
[87] ‘Ali Rida, al-Marja‘ fil-Ligah al-‘Arabiyah; Nahwuha wa Sarfuha, (beirur: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 84.
[88] Penafsiran ini dinukil Dari Muhammad ‘Ali as-Sabuny, Safwah at-Tafasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
[89] ‘Ali Ibn Ahmad al-Wahidy, Al-Wasit: Tafsirul-Qur’an al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), jilid I, hlm. 65.
[90] Muhammad Fu’ad ‘Abdul-Baqi, Mu‘jamul-Mufahras li Alfazil-Qur’an al-Karim (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.), hlm. 489-491.
[91] Ahmad asy-Syantanawy dan Ibrahim Zaki Khursyid, Da’iratul-Ma‘arif al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid VII, hlm. 82.
[92] Muhammad Fu’ad ‘Abdul-Baqi, Mu‘jamul-Mufahras…, hlm. 276-277.
[93] QS al-Qalam: 4.
[94] Ahmad as-Sawy, Hasyiyah as-Sawy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid III, hlm. 353.
[95] QS at-Taubah: 109.
[96] QS al-Kahfi: 107.
[97] QS Yunus: 44
[98] ‘Ali al-Jarimi dan Mustafa Amin, Al-Balagah al-Wadihah, (Mesir: Dar al-Ma‘arif, t.t.), hlm. 20.
[99] QS al-Baqarah: 261.
[100] Mahmud Syaltut, Tafsirul-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), jilid I, hlm. 119.
[101] QS al-Anfal: 27.
[102] Muhammad Fu’ad ‘Abdul-Baqi, Mu‘jamul-Mufahras…, hlm. 144-145.
[103] Mustafa al-Galayaini, Jami’ud-Durus…, jilid I, hlm. 77.
[104] Muhammad Fu’ad ‘Abdul-Baqi, Mu‘jamul-Mufahras…, hlm. 466-467.
[105] Ahmad as-Sawy, Hasyiyah…, jilid I, hlm. 291.
[106] Ahmad as-Sawy, Hasyiyah…, jilid I, hlm 133.
[107] Ibid., jilid III, hlm. 77.
[108] Ibn Manzur, Lisan…, hlm. 512.
[109] Ibrahim Anis dkk., al-Mu’jam…, jilid I, hlm. 315.
[110] QS an-Nisa’: 142.
[111] QS at-Taubah: 28.
[112] QS al-An‘am: 14.
[113] QS Fussilat: 40.
[114] QS at-Taubah: 109.
[115] Ahmad as-Sawy, Hasyiyah…, jilid II, hlm. 211-212.
[116] Ibid.
[117] QS al-Baqarah: 120
[118] QS al-Baqarah: 6.
[119] QS al-Ma‘un: 4-7.
[120] QS ar-Rahman: 43-44.
[121] QS al-A‘raf: 176
[122] QS al-Baqarah: 171.
[123] QS al-Baqarah: 17-18.
[124] QS al-Ma’idah: 15.
[125] Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Gazaly, Ihya’ ‘Ulumid-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid III, hlm. 60.
[126] QS az-Zumar: 28-29.?
[127] QS Yusuf: 2.
[128] QS Taha: 1-8.
[129] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Ma‘anihi ilal-Lugah al-Indunisiyah, (Madinah: tp.,tt.), hlm. 476.
[130] QS asy-Syura: 7.
[131] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm 784.
[132] QS al-Ahzab: 45- 46.
[133] Mujamma‘Khadim al-Haramain asy-Syarifain, al-Qur’an al-Karim…, hlm 675.
[134] Manna‘Khalil al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulumil-Qur’an, (Riyad: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1972), hlm. 63-64.
[135] QS al-Fatihah: 2.
[136] QS al-An‘am: 65.
[137] QS al-Hadid: 3.
[138] QS Hud: 123.
[139] Al-Alusy, Ruhul-Ma‘any, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid VII, hlm. 77.
[140] QS Ibrahim: 39.
[141] QS an-Naml: 19.
[142] QS Sad: 30.
[143] QS al-Isra’: 3.
[144] QS al-Baqarah: 30
[145] QS Taha: 130.
[146] QS at-Tagabun: 1
[147] QS an-Nasr: 3.
[148] QS Ali ‘Imran: 188.
[149] Muhammad ‘Ali as-Sabuny, Safwah al-Tafasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jilid I, hlm. 250.
[150] Secara lebih jelas dapat dibaca pada bab tiga halaman 38-39.
[151] QS al-Fath: 16.
[152] QS al-Hujurat: 13.
[153] QS az-Zukhruf: 38.
[154] QS al-Kahfi: 29
[155] QS Fussilat: 40.
[156] QS at-Taubah: 109.
[157] Ahmad as-Sawy, Hasyiyah…, jilid II, hlm. 211-212.
[158] Ahmad as-Sawy, Hasyiyah…, jilid II, hlm. 211-212.
[159] QS al-A‘raf: 176.
[160] QS Taha: 101-102.
[161] QS al-Baqarah: 126.
[162] QS al-Ma’idah: 62.
[163] QS al-Baqarah: 275.
[164] Mahmud Zahran, Qasas Minal-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, 1956), hlm. 3.
[165] QS al-Fatihah: 2.
[166] QS al-Hasyr: 24.
[167] QS al-Isra’: 1.
[168] Mahmud Syaltut, Tafsirul-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), jilid III, hlm. hlm. 481
[169] QS al-Fath: 19.
[170] QS at-Taubah: 100.
[171] QS al-Fath: 81.
[172] QS al-Hasyr: 8.
[173] Mahmud Syaltut, Tafsirul-Qur’an…, jilid III, hlm. 396.
[174] QS al-Isra’: 44.
[175] QS at-Tagabun: 1
[176] QS al-‘Ankabut: 57-58.
[177] At-Tihami Naqrah, Sikulujiyatul-Qissah fil-Qur’an, (Tunis: asy-syirkah at-Tunisiyah lit-Tauzi’, t.t.), hlm. 257.
[178] QS Fussilat: 53-54.
[179] QS Hud: 120.
[180] QS Ali ‘Imran: 87.
[181] QS An-Nisa’: 65.
[182] QS al-A‘raf: 176
[183] QS al-Baqarah: 171.
[184] QS al-Baqarah: 17-18.
[185] QS Fatir: 24.
[186] QS al-Baqarah: 6
[187] QS al-A‘raf: 40-41.
[188] QS al-Baqarah: 264.