HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI
Oleh Team www.unmetered.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan sempurna memberi tempat sekaligus menyatukan unsur kehidupan lahir dan bathin dengan memayunginya di bawah prinsip keseimbangan atau dengan bahasa Afzalur Rahmān mengkombinasikan keduanya secara harmonis.[1]
Jelaslah bahwa Islam bukan ajaran tentang akhirat saja, yang menyuruh manusia hanya agar menyelamatkan jiwa mereka untuk akhirat melalui ritual ibadah belaka, akan tetapi juga kebutuhan fisik harus terpenuhi. Ajaran tentang perlunya keseimbangan ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan Islam itu sendiri, yaitu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan adanya keseimbangan ini pula diharapkan manusia dapat mengambil kerahmatan dari Islam. Sistem ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah sistem yang membawa bahagia bagi seluruh umat manusia dan memimpinnya kepada kesempurnaan.[2]
Dalam kaitan ini, akan dikaji salah satu aspek kehidupan manusia, yaitu aspek hubungan dengan manusia yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tanpa adanya bantuan dari yang lain, hal ini disebabkan karena manusia itu kodratnya sebagai makhluk sosial.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Mu’amalat menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari atau tidak selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melaksanakan pergaulan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam agama Islam disebut dengan istilah mu’amalat.[3]Masalah mu’amalat senantiasa berkembang di dalam kehidupan masyarakat, tetapi dalam perkembangannya perlu sekali adanya perhatian dan pengawasan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan (mudarāt), ketidakadilan, dan penindasan atau pemaksaan dari pihak-pihak tertentu sehingga prinsip-prinsip dalam bermu’amalat dapat dijalankan.[4]
Sejarah telah membuktikan, bahwa lantaran perdagangan kekayaan dan kemakmuran, bangsa Quraisy terus berkembang. Perdagangan merupakan induk keberuntungan. Ia berkedudukan lebih tinggi dibanding pertanian, industri, dan jasa. Perdagangan merupakan pertanda baik dan kesejahteraan yang akan menjadi tulang punggung untuk memperoleh kekayaan.
Dunia perdagangan yang lengkap dengan seluk beluk di dalamnya, memungkinkan untuk memperluas wawasan pergaulan dan gerakan geografis menjelajahi dunia serta persaingan ketat sehingga memberikan dorongan untuk tidak menyerah.[5]Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan bersih dari pokok pembelian. Oleh karena itu ia memberlakukan kepintaran atau ilmu, karenanya ia sama sekali tidak merampas hak-hak milik orang lain, melainkan dilakukan secara timbal balik antara masing-masing pihak.[6]Seorang penjual berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya, sedang seorang pembeli berkewajiban untuk memberikan konpensasi bagi jasa yang telah ia terima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan untuk kebutuhan konsumtifnya saja tetapi juga ia mampu mengembangkan usahanya (produktif).[7]
Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran Islam.[9]Sebagai sumber ajaran yang kedua setelah al-Qur’an, kebenaran hadis disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan juga menjadi bahasan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawātir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara āhād.[10]
Al-Qur’an maupun hadis telah terbentuk di masa Nabi, dengan demikian tidak dapat dimodifikasi dengan penambahan atau pengurangan. Sementara kehidupan yang dijalani dan dihadapi umat pasca Nabi mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Hal ini menurut penyesuaian dengan dan dari al-Qur’an maupun hadis. Penyesuaian ini dilakukan dengan mengkaji ulang keduanya demi mendapatkan ajaran yang sejati, orisinal dan sālih likulli zamān wa makān.
Mengingat hadis sebagai sumber tasyri’ kedua, maka pengkajian ulang serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan kembali terhadap hadis. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak ketika wacana-wacana keislaman banyak mengutip literatur-literatur hadis yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku umat Islam itu sendiri. Di samping itu juga dapat memberikan informasi, apakah kandungan hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal sekaligus tekstual atau kontekstual.
عن عروة البارقى أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى له به شاة فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه 15 [15]
Hadis di atas seringkali dijadikan patokan oleh para pedagang untuk mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan meminimalkan modal yang dikeluarkan, sehingga tujuan dari perdagangan yaitu untuk memperoleh laba semaksimal mungkin dapat cepat terwujud.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemaknaan hadis-hadis tentang keuntungan jual beli?
2. Bagaimana relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks kekinian?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan:
1. 
Menerapkan metode Ma’āni al-Hadisׂ dalam memaknai hadis tentang keuntungan jual beli.
2. Mengetahui bagaimana relevansi hadis keuntungan jual beli dalam konteks sekarang.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian hadis lebih lanjut.
2. Diharapkan dapat menambah khazanah literatur studi hadis.
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
Penulis juga menjumpai dalam beberapa skripsi yang membahas tentang jual beli yaitu skripsi yang disusun oleh Siti Qamariyyah yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Maksimasi Laba Usaha Perdagangan Barang Konsumsi. Pada skripsi ini penulis meneliti laba atau keuntungan atas dasar motif ekonomi yaitu langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil yang maksimal dengan modal yang minim.[25]
E. Metode Penelitian
1.
Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
2. Memahami al-Sunnah sesuai petunjuk al-Qur’an.
3. Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
4. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang bertentangan.
5. Memahami hadis-hadis sesuai latar belakangnya, situasi dan kondisinya, serta tujuannya.
6. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis.
7. Membedakan antara fakta dan metafora dalam memahami hadis.
8. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata.[29]
Prinsip yang ketiga, memastikan bahwa nas tersebut tidak bertentangan dengan naslainnya yang lebih kuat kedudukannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang śubūt-nya (atau keberadaannya sebagai nas).[30]
Kritik untuk membuktikan keotentikan sanad hadis.- Memahami nas (matan) hadis untuk menentukan makna dan maksud hadis yang sesungguhnya. Susunan hirarkis lima pedoman tersebut adalah:
a. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
b. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
c. Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
d. Penggabungan atau pentarjihan hadis-hadis yang bertentangan.
e. Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi serta tujuannya.
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini diuraikan dalam lima bab, yaitu:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, mencakup pemaparan seputar jual beli, makna jual beli, syarat dan sahnya jual beli, macam-macam jual beli, prinsip dan dasar ekonomi Islam.
Bab keempat, keuntungan jual beli dalam pandangan praktisi ekonom Islam dan relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks kekinian.
Bab kelima, merupakan akhir yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan beberapa saran penulis yang perlu disampaikan berkaitan dengan hasil penelitian.
BAB II
TINJAUAN UMUM JUAL BELI
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Tujuan Jual Beli
Jual beli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga yang dijual.[31]
Dalam bahasa Arab, jual beli disebut al-Bai’ (البيع) yang merupakan bentuk masdar dariبيعا – يبيع – باعyang artinya menjual.[32]Sedangkan kata beli dalam bahasa Arab dikenal dengan شراءyaitu masdar dari kata شرى – يشرى – شراء artinya membeli.[33]Namun pada umumnya kata بيع itu sudah mencakup keduanya, kata بيع diartikan denganمطلق المبادلة yang artinya mutlak tukar menukar.[34]
Sedangkan pengertian jual beli menurut istilah, para ulama berbeda pendapat. Al-Sayyid Sābiq mengemukakan bahwa jual beli menurut istilah ialah:
مبادلة مال بمال على سبيل التراضى أو نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه[37]
Artinya : Tukar menukar harta dengan harta yang dilakukan berdasarkan kerelaan atau memindahkan hak milik dengan (mendapatkan benda lain) sebagai ganti dengan jalan yang diizinkan oleh syara’.
Maksudnya bahwa melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan, atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya secara rela sama rela.
مقابلة مال بمال قابلين للتّصرّف بإيجاب وقبول على الوجه المأذون فيه[38]8
Artinya : Tukar menukar harta dengan harta yang sebanding untuk dimanfaatkan dengan menggunakan ijab dan qabul menurut jalan yang diizinkan oleh syara’.
Maksudnya bahwa tukar menukar harta tersebut harus dapat dimanfaatkan sesuai dengan syara’ dan harus disertai dengan adanya ijab dan qabul.
harta (harga) atas dasar kerelaan dari pihak penjual dan pihak pembeli.[39]
Dari beberapa defenisi di atas, Abdul Mujib merumuskan defenisi “al-bai’” sebagai pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang dengan harta atau atas saling rida, atau ijab dan qabul atas dua jenis harta yang tidak berarti bederma, atau menukarkan harta dengan harta bukan atas dasar tabarru’.[40]
Dengan memahami beberapa arti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara:
1. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela.
2. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang sah dalam lalu lintas perdagangan.[41]
Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar tradisional), sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan berarti milik atau harta tersebut diperuntukkan dengan alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan lain sebagainya.[42]
Dengan melaksanakan transaksi jual beli ini, manusia mempunyai tujuan yaitu untuk kelangsungan hidup manusia yang teratur dengan saling membantu antara sesamanya di dalam hidup bermasyarakat, dimana pihak penjual mencari rizki dan keuntungan, sedangkan pembeli mencari alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain itu jual beli juga mempunyai tujuan untuk memperlancar perekonomian pribadi secara langsung dan perekonomian negara secara tidak langsung, serta dapat membuat orang lain lebih produktif dalam menjalankan kehidupan di dunia sehingga hidupnya lebih terjamin.
Sebagai umat beragama, tujuan yang terpenting dalam jual beli adalah untuk mendapatkan ridā Allah agar jual beli tersebut menjadi berkah dan berhasil. Untuk itu hendaklah setiap pedagang (pengusaha) muslim dan pembeli dapat menerapkan syari’at Islam dalam segala usahanya.
B. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli
1. Rukun Jual Beli
Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu:
a. Adanya pihak penjual (al-bāi’)
b.
Adanya pihak pembeli (al-musytari)
c. Adanya barang yang diakadkan (ma’qūd ‘alaihi)
d.
Adanya sigat akad (ijāb dan qabūl)[43]
2. Syarat Jual Beli
a. Pihak yang mengadakan akad
1)
Berakal atau Tamyiz
Beberapa ulama memberikan batasan umur terhadap orang yang dapat dikatakan balig, tetapi menurut Ahmad Azhar Basyir, kecakapan seseorang untuk melakukan akad lebih ditekankan pada pertimbangan akal yang sempurna bukan pada umur, karena ketentuan dewasa itu tidak hanya dibatasi dengan umur tetapi tergantung juga dengan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal).[44]
2) Atas kehendak sendiri
Dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lain, sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi disebabkan oleh adanya paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
…إلاّ أن تكون تجارة عن تراض….[45]
Artinya : Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
3) Bukan pemboros (mubāżir)
Maksudnya adalah bahwa pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
ولا تؤتوا السّفهاء أموالكم الّتى جعل الله لكم قيما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوالهم قولامعروفا[46]
Artinya : Dan janganlah kamu serahkan yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
b. Syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan[47]
1) طهارة العين(suci barangnya)
Artinya barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang yang najis atau diharamkan oleh syara’, seperti minuman keras.
2) الإنتفاع به (dapat dimanfaatkan)
Maksudnya setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif, sebab pada hakekatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung atau tidak. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin canggih, banyak barang yang semula tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat, seperti sampah plastik yang didaur ulang.
3) ملكية العاقد له(milik orang yang melakukan akad)
Maksudnya bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah dipandang sebagai jual beli yang batal.
4) القدرة على تسليمة(dapat diserahkan)
Maksudnya bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan obyek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan.
5) العلم به (dapat diketahui barangnya)
Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang.
6) كون المبيع مقبوضا(barang yang ditransaksikan ada di tangan)
Maksudnya obyek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan. Penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana diperjanjikan.
c. Syarat sah akad (Ijab dan Qabul)
Akad adalah suatu perkataan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.[48] Akad yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jalan suka sama suka dapat menimbulkan suatu kewajiban di antara masing-masing pihak yang berakad. Pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan bagi pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab dan qabul, yaitu:
1)
Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu benar-benar marupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan hukum.
2) Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu obyek yang merupakan obyek akad.
3) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majlis apabila kedua belah pihak sama-sama hadir, atau sekurang-kurangnya dalam majlis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir.[49]
1) Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad.
2) Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila orang yang berakad tidak berada dalam satu majlis atau orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat berbicara.
3) Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila salah satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.[50]
Mengingat posisi akad demikian pentingnya, maka unsur yang paling asasi dalam akad adalah adanya suka sama suka atau kerelaan, sebagaimana firman Allah SWT:
ياأيّها الّذين امنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارة عن تراض منكم…[51]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….
Selanjutnya, menurut Ahmad Azhar Basyir, ada beberapa hal yang dipandang dapat merusakkan akad, yaitu adanya paksaan, adanya penipuan atau pemalsuan, adanya kekeliruan dan adanya tipu muslihat.[52]
Suatu akad jual beli dapat dikatakan mengandung unsur penipuan apabila penjual menyembunyikan aib terhadap barang dagangannya agar tidak tampak seperti sebenarnya, atau dengan maksud untuk memperoleh keuntungan harga yang lebih besar. Penipuan itu dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu penipuan yang dilakukan dalam suatu harga atau disebut dengan penipuan yang bersifat ucapan dan penipuan yang terdapat dalam sifat suatu barang atau disebut dengan penipuan yang bersifat perbuatan.
Kejujuran dan kebenaran dalam jual beli merupakan nilai yang terpenting. Sehubungan dengan ini, maka sikap mengeksploitasi orang lain dan menjahili atau membuat pernyataan palsu merupakan perbuatan yang dilarang.[53]Hadis Nabi Saw.:
نهى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر[54]
Dengan demikian kedudukan akad adalah sebagai syarat sahnya jual beli dan berfungsi sebagai pemindahan hak milik dari satu pihak kepada pihak lain.
C. Macam-macam Jual Beli
1. Jual beli dilihat dari sifatnya[55]
a. Jual beli yang sah
Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh syara’ dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik yang berkaitan dengan orang yang mengadakan transaksi, obyek transaksi serta ijab dan qabul.
b. Jual beli yang batal
Yaitu jual beli yang seluruh atau salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang menurut asalnya tidak dibenarkan oleh syara’, seperti transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, atau jual beli barang yang haram. Termasuk jual beli yang batal antara lain:
1) Jual beli sesuatu yang tidak ada pada penjual.
2) Menjual belikan sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan dari penjual kepada pembeli.
3) Menjual benda-benda yang hilang, seperti lepas dari pemeliharaan.
4) Jual beli yang mengandung unsur penipuan.
5) Jual beli benda najis, seperti babi, khamr, bangkai, anjing dan lain sebagainya.
6) Jual beli yang menjadi milik umum, seperti air, sungai, danau, laut dan sebagainya.
c. Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiah membedakan antara jual beli yang fasid dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait dengan barang yang diperjual belikan, maka hukumnya batal, seperti jual beli barang-barang yang haram diperjualbelikan. Tetapi jika kerusakan tersebut terkait dengan harga barang dan dapat diperbaiki, maka hukumnya menjadi jual beli fasid.
Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah tersebut di atas, terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:
a. Jual beli yang tidak sah
Yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syari’at Islam karena ada alasan-alasan tertentu, seperti:
1) Menyakiti kepada salah satu pihak atau orang lain yang terlibat dalam jual beli tertentu.
2) Menyempitkan gerakan pasaran.
3) Merusak ketentraman umum.[56]
b. Jual beli yang sah tapi dilarang, antara lain:
1) Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si pembeli tidak menginginkan barang tersebut, tetapi semata-mata bertujuan supaya orang lain tidak membeli barang tersebut.
2) Membeli barang yang sudah dibeli orang lain atau sudah ditawar orang lain yang masih dalam masa khiyār.
3) Membeli barang dari orang yang datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan mereka belum mengetahui harga yang ada di pasar.
4) Membeli barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut.
5) Jual beli yang sifatnya membohongi, yaitu jual beli yang mengandung unsur kebohongan, baik di pihak penjual maupun pembeli, yang terdapat dalam barang dan ukurannya.[57]
2. Jual beli dilihat dari segi harganya
a. Jual beli musāwamah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara tawar menawar antara penjual dan pembeli sampai adanya kesepakatan harga di antara keduanya.
b. Jual beli murābahah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan menyebut barang beserta keuntungannya dengan syarat-syarat tertentu.
c. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan menjual harga pembelian tanpa adanya penambahan harga.
d.
Jual beli al-Wadi’ah, yaitu jual beli yang harga jual lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian barang tersebut.[58]
D. Prinsip dan Dasar Ekonomi Islam
Islam sebagai agama universal tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang disebut muamalah. Muamalah merupakan kegiatan manusia dalam perannya sebagai khalifah di muka bumi, yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi dengan cara interaksi antar umat manusia, misalnya melalui kegiatan ekonomi.
Kegiatan ekonomi adalah kegiatan dalam upaya memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia senantiasa bertarung dengan kekuatan-kekuatan alam untuk mengeluarkan daripadanya makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Karena adanya berbagai macam kebutuhan, situasi dan lingkungan hidup yang berbea-beda, maka terjadilah antara sesama warga masyarakat berbagai macam perhubungan (mu’amalah).
Untuk menjamin keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat, Islam telah mengatur banyak tentang muamalah tersebut dalam sebuah sistem ekonominya, yang terkenal dengan sistem ekonomi Islam.
Ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-hadis, yang menekankan kepada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan. Dengan demikian, Islam adalah agama yang memandang betapa pentingnya keadilan demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Hal ini tercermin dari perhatiannya yang besar kepada kaum yang lemah, yaitu menjamin dan melindungi kehidupan mereka tanpa menganiaya mereka seperti yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis. Tetapi Islam berada di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan. Islam menginginkan agar sistem ekonominya terorganisir sedemikian rupa sehingga harta tidak hanya ada dalam genggaman orang kaya saja. Untuk mencapai hal tersebut, Islam telah memberikan konsep-konsep tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam, yaitu:
1. Kebebasan individu
2. Hak terhadap harta
3. Ketidaksamaan ekonomi dalam batasan
4. Kesamaan sosial
5. Keselamatan sosial
6. Larangan menumpuk kekayaan
7. Larangan terhadap institusi anti-sosial
8. Kebajikan individu dalam masyarakat.[59]
Selain prinsip-prinsip di atas, Islam juga telah memberikan dasar-dasar ekonomi Islam sebagai acuan bagi para ekonom Islam dalam mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dasar-dasar tersebut yaitu:
1. Bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik di dunia dan di akhirat, tercapainya pemuasan optimal berbagai kebutuhan baik jasmani maupun rohani secara seimbang, baik perorangan maupun masyarakat. Untuk itu alat pemuas dicapai secara optimal dengan pengorbanan tanpa pemborosan dan kelestarian alam tetap terjaga.
2. Hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
3. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar.
4. Dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu meminta, oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dicapai pembagian rizki.
5. Pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat.
6. Perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang.
7. Tiada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama dan yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja.[60]
Kemudian landasan nilai yang menjadi tumpuan tegaknya sistem ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
1. Nilai dasar sistem ekonomi Islam:
a. Hakikat pemilikan adalah kemanfaatan, bukan penguasaan.
b. Keseimbangan ragam aspek dalam diri manusia.
c. Keadilan antar sesama manusia.
2. Nilai instrumental sistem ekonomi Islam:
a. Kewajiban zakat.
b. Larangan riba.
c. Kerjasama ekonomi.
d. Jaminan sosial.
e. Peranan negara.
3. Nilai filosofis sistem ekonomi Islam:
a. Sistem ekonomi Islam bersifat terikat yakni nilai.
b. Sistem ekonomi Islam bersifat dinamik, dalam arti penelitian dan pengembangannya berlangsung terus-menerus.
4. Nilai normatif sistem ekonomi Islam:
a. Landasan aqidah.
b. Landasan akhlaq.
c. Landasan syari’ah.
d. Al-Qur’anul Karim.
e. Ijtihad (Ra’yu), meliputi qiyās, maslalah mursalah, istihsān, istishāb, dan ‘urf.[61]
Salah satu nilai dasar pada sistem ekonomi Islam adalah keadilan antar sesama manusia. Ini menunjukkan bahwa masalah keadilan berkaitan secara timbal balik dengan kegiatan bisnis, khususnya bisnis yang baik dan etis. Di satu pihak terwujudnya keadilan dalam masyarakat akan melahirkan kondisi yang baik dan kondusif bagi kelangsungan bisnis yang baik dan sehat. Tidak hanya dalam pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam pengertian sejauh prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang baik dan etis. Di lain pihak, praktek bisnis yang baik, etis, adil, dan fair akan ikut mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Sebaliknya, jika ketidak adilan yang merajalela akan menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan para pelaku bisnis.
Islam memiliki suatu konsep masyarakat yang berkeadilan. Kata kunci yang digunakan al-Qur’an dalam masalah ini adalah adl dan ihsan di satu sisi dan istikbar di sisi lain. Masyarakat Islam yang ideal harus didasarkan pada keadilan dan nilai-nilai kebaikan serta tiadanya eksploitator yang angkuh, yang disebut istikbar, karena mengeksploitasi mustad’afin. Keadilan dan eksploitasi tidak dapat menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan akumulasi modal, sedangkan al-Qur’an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari keuntungan dengan cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebih-lebihan, profiteering).[62]Keadilan dan kebijakan merupakan prinsip pokok ekonomi Islam agar tercapai dua sasaran, yaitu:
1. Kekayaan tidak dipusatkan pada sebagian kecil tangan manusia, namun melalui situasi yang kontinyu pada komunitas.
2. Berbagai ragam rakyat yang berpartisipasi dalam bidak kekayaan nasional mendapatkan imbalan secara adil dan pantas.[63]
Dari beberapa konsep di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Islam menghendaki agar sumber-sumber kekayaan tidak tertumpuk pada satu tempat secara besar-besaran, tetapi beredar dan berpindah-pindah di antara individu hingga masing-masing memperoleh bagian kekayaan yang sah dan layak. Maka menjadi tugas dan kewajiban pemimpin atau penguasa untuk mengembalikan distribusi kekayaan dalam masyarakat manakala tidak ada keseimbangan di antara yang dipimpinnya.
Termasuk dari ciri-ciri Islam adalah bahwa Islam telah mengakui manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah dan insting-insting sosial, khususnya kecintaan terhadap harta benda. Namun harus diketahui juga bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam. Maka ekonomi Islam tidak bisa terlepas dari aqidah dan syari’at Islam, bahkan mempunyai hubungan yang sempurna. Dengan demikian pada dasarnya kegiatan-kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian, dan merupakan cita-cita luhur yang semata-mata tidak untuk merealisir keuntungan materiil saja. Kebebasan ekonomi Islam bukanlah merupakan kebebasan yang mutlaq atau tanpa batas, akan tetapi terikat oleh norma-norma yang digariskan dalam Islam, yaitu ikatan keadilan demi terwujudnya kemaslahatan umum. Oleh karena itu, jika tujuan ekonomi tidak semata-mata untuk merealisir keuntungan materiil yang sudah melekat pada pelaku ekonomi, maka persaingan, egoisme, dan monopoli akan berubah menjadi saling pengertian dan saling tolong-menolong demi kemaslahatan seluruh umat manusia.[64]Sehingga tujuan dari sistem ekonomi Islam tidak lain adalah untuk kemaslahatan umat manusia secara menyeluruh dapat terwujud.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang berwatak sosial tanpa meniadakan hak-hak asasi yang menjadi fitrah manusia.
BAB III
A. Hadis-hadis tentang Keuntungan Jual beli
Dari semua kitab hadis tersebut sahabat yang meriwayatkan hadis tentang keuntungan jual beli adalah ‘Urwah.

Hadis dalam Sahih al-Bukhāri
١. عن عروة البارقىِّ أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى له به شاة
فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه2[66]
Hadis dalam Sunan at-Tirmiżi
- Hadis dalam Sunan Abū Dāud
- Hadis dalam Sunan Ibn Mājah
- Hadis-hadis dalam Sunan Ahmad Ibn Hanbal
١. حدّثنا سفيان عن شبيب أنه سمع الحىّ يخبرون عن عروة البارقىّ أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم بعث معه بدينار يشترى له أضحيّّة وقال مرّة أو شاة فاشترى له اثنتين فباع واحدة بدينار وأتاه بالأخرى فدعاله بالبركة فى بيعه فكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه حدّثنا يحيى بن سعيد عن زكريّا عن الشّعبىّ عن عروة بن أبى الجعد قال وحدّثنى أبى حدّثنا أبو كامل عن سعيد بن زيد عن الزّبير عن أبى لبيد عن عروة بن أبى الجعد قال أبى و حدّثنا يحيى بن آدم عن إسرائيل عن أبى إسحاق عن عروة عن أبى الجعد كلّهم قال ابن أبى الجعد6[70]
B. Kritik Otentisitas Hadis
Kritik Sanad dan Matan
1. Meneliti matan dengan kualitas sanadnya.
2. Meneliti susunan matan yang semakna.
3. meneliti kandungan matan.[77]
1.
Tidak bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim.
2.
Tidak bertentangan dengan dengan hadis dan sirah nabawiyyah yang sahih.
3. Tidak bertentangan dengan akal, indera atau sejarah.
4. Tidak mirip dengan sabda kenabian.[78]
…وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا….[79]
Artinya : Padahal Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba.
ياأيّها الّذين امنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارة عن تراض منكم….[80]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….
Kriteria kedua, pertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat kedudukannya. Meskipun ada hadis yang membolehkan pengambilan keuntungan melebihi 100 persen dari modal, tetapi penulis tidak menemukan hadis yang menolak pengambilan keuntungan sebesar 100 persen. Dalam artian bahwasanya hadis-hadis yang dibahas senuanya membolehkan pengambilan keuntungan sebesar 100 persen. Walaupun ada hadis yang membolehkan pengambilan keuntungan lebih dari 100 persen tetapi tidak melarang pengambilan keuntungan sebesar 100 persen.
Kriteria ketiga, bertentangan dengan akal. Yang dimaksud akal di sini adalah akal yang tercerahkan dengan al-Qur’an dan Hadis yang sahih. Secara akal, sistem ekonomi yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-hadis, yang menekankan kepada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Dengan demikian tidak adanya pertentangan hadis yang dibahas dengan akal.
C. Pemaknaan Hadis
1. Kata-kata Kunci dalam Hadis
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam memahami matan hadis adalah menjelaskan beberapa kata penting dari segi makna istilahnya. Kata-kata tersebut adalah kata اشترى , بيع dan ربح .
b) اشترى
اشترى berasa dari kata شراء yaitu bentuk masdar dari kata شرى– يشرى – شراءyang berarti membeli[82], lawan katanya yaituالبيع bentuk
masdar dari kata بيعا – يبيع – باع yang berarti menjual.[83]
c) ربح
ربح yaitu bentuk fi’l al-mudāri’ dari kata ربح – يربح – ربح yang berarti laba yakni pertumbuhan dalam dagang.[84]Berkata Azhadi ربح فلان, ورابحته , maka jual beli adalah ribh (الربح) dan perdagangan (تجارة) adalah rābihah (رابحة) yaitu laba atau hasil dagang yang didahului لامتناع الجواب لامتناع الشّرطلو yang berarti jika, maka pasti ada jawaban dari syarat itu dan الشّرطلام الجواب yang berarti jawaban akan syarat.[85]
2. Pemahaman Hadis Sesuai dengan Petunjuk Qur’an
Dalam kaitannya dengan hadis yang sedang dibahas, yaitu hadis tentang keuntungan jual beli, tidak terdapat satupun ayat al-Qur’an yang secara tersurat menyatakan tentang batasan pengambilan keuntungan jual beli. Adapun firman Allah yang berkenaan dengan jual beli sebagai berikut:
…وأحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا….[86]
Artinya : Padahal Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba.
ياأيّها الّذين امنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارة عن تراض منكم….[87]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan halalnya jual beli, kendatipun menurut asbāb al-nuzūl ayat-ayat tersebut ditekankan untuk maksud-maksud yang lain yang tidak memberi faedah langsung halalnya jual beli. Sebab pada ayat pertama menekankan keharaman riba, ayat kedua memberikan tuntunan agar hendaknya jual beli dilakukan dengan didasarkan atas kerelaan dari kedua belah pihak.
3. Hadis-hadis yang Setema
Dalam pencarian hadis-hadis yang setema dengan hadis yang sedang dibahas, penulis menggunakan Kitab مفتاح كنوزالسنّة sebagai rujukan dan menggunakan tema hadis.
نهى النّبى صلى الله عليه وسلّم عن ربح مالم يضمن
Adapun hadis-hadis yang keluar yang setema dengan hadis-hadis yang dibahas terdapat dalam kitab Sunan Ibn Mājah dan Musnad Ahmad
Ibn Hanbal.[88]
Di sini akan dicantumkan sebagian hadis sebagai penguat bagi hadis yang sedang dibahas yaitu hadis dalam Kitab Sunan Ibn Mājah dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
a. Hadis dalam Sunan Ibn Mājah
1. حدّثنا أزهر بن مروان قال ثنا حقاد بن زيد وحدّثنا أبو كريب ثنا إسماعيل بن عليّة قالا ثنا أيوب عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جدّه قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم لا يحلّ بيع ماليس عندك ولا ربح مالم يضمن19[89]
b. Hadis dalam Sunan Ahmad Ibn Hanbal
۱. حدّثنا عبدالله حدّثنا أبوبكرالحنفى ثنا الضحاك بن عثمان عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جدّه قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن بيعتين فى بيعة وعن بيع وسلف وعن ربح مالم يضمن وعن بيع ماليس عندك20 [90]
4. Ada dan Tidaknya Pertentangan dalam Hadis
Baik dari segi makna maupun lafaz hadis tentang pengambilan keuntungan yang sedang dibahas tidak terdapat adanya suatu pertentangan antara hadis satu dengan lainnya, dikarenakan tidak ditemukannya hadis yang menolak pengambilan keuntungan sebesar 100 persen, hadis-hadis yang dibahas yakni hadis-hadis tentang keuntungan jual beli baik dari segi makna ataupun redaksi lafaznya tidak terdapat perbedaan. Dalam artian bahwasannya hadis-hadis yang dibahas senuanya membolehkan pengambilan keuntungan sebesar 100 persen. Walaupun ada hadis yang membolehkan pengambilan keuntungan lebih dari 100 persen tetapi tidak melarang pengambilan keuntungan sebesar 100 persen.
5. Latar Belakang Historis Hadis
Latar belakang turunnya hadis ini tidak ditemukan, sebagai penguat hadis ini, penulis mencantumkan sebuah riwayat dari Abū Hurairah yang berkaitan dengan hadis larangan mengambil keuntungan dalam jual beli dengan jalan menipu, yaitu bahwasannya Rasulullah saw. berpapasan dengan seorang penjual makanan, lalu beliau bertanya kepada orang itu, “bagaimana caramu menjual makanan ini?”, dan orang itupun menerangkan apa yang ditanyakan Nabi itu. Kemudian Allah mewahyukan kepada beliau: “Masukkan tanganmu dalam makanan itu”. Nabi lalu memasukkan tangan beliau, dan ternyata makanan yang ada di bagian bawahnya busuk. Maka beliau pun lalu berkata: “Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang menipu kami”. Juga riwayat dari Ibn ‘Abbas, bahwasannya Rasulullah saw. bertemu dengan seorang penjual makanan di pasar Madinah yang amat menarik perhatian beliau. Lalu beliau memasukkan tangannya ke bahan makanan yang ada di bagian bawah, dan mengeluarkan sesuatu yang tidak sama dengan yang ada di permukaan. Maka beliau pun memarahi penjual makanan itu, dan kemudian berseru: Ayyuhā al-nās, tidak dibenarkan menipu dikalangan kaum Muslimin, dan barangsiapa yang menipu kami, ia tidak termasuk golongan kami. Jadi inti dari riwayat ini yaitu dilarangnya mengambil keuntungan dalam jual beli dengan jalan menipu.[91]
Kondisi kehidupan perniagaan bangsa Arab merupakna fakta yang telah dikenal dalam sejarah. Mata pencaharian penduduk di kawasan itu khususnya dengan kondisi wilayah yang kering, padang pasir, penuh dengan bebatuan dan pegunungan tandus adalah perdagangan. Oleh karena itu secara khusus mereka memilih dan menempa diri mereka dalam bidang perdagangan.
Secara umum, kehidupan politik bangsa Arab sangat tidak pasti, kehidupan kesukuan yang mandiri merupakan cara hidup yang normal. Tidak adanya kekuatan sentral ini telah mendorong setiap suku untuk bertanggung jawab menjaga keselamatannya sendiri. Tidak diragukan lagi, kaum Quraisy merupakan suku Arab yang paling berpengaruh dan terhormat, suku dari mana Nabi saw. sendiri berasal.
Ketika berkecamuk peperangan antar suku yang menimbulkan rasa saling permusuhan dan perasaan tidak aman, sepenuhnya mereka tetap menikmati keamanan dengan kehormatan dan wibawa, baik dalam maupun luar negeri. Kedudukan mereka sebagai pelayan dan pemelihara rumah Allah itulah yang memberikan kemudahan-kemudahan ini. Mereka dihormati sebagai pemimpin bangsa Arab ke wilayah manapun mereka pergi berdagang. Stastus inilah yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan dalam bidang perdagangan.[92]
Asbāb al-Wurūd hadis di atas dapat dipahami bahwasanya larangan mengambil keuntungan atau laba yang diperoleh dengan jalan menipu atau menyamarkan perdagangan dengan menyembunyikan cacatnya barang dagangan, atau menampakkannya (mengemasnya) dalam bentuk yang menipu, yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dengan tujuan mengecoh pembeli. Juga mengandung makna bahwasanya Islam tidak memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan dalam perdagangan. Hal ini diserahkan kepada hati nurani masing-masing orang muslim dan tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain, yang memang menjadi pedoman bagi semua tindakan dan perilaku seorang muslim dalam semua hubungan. Keuntungan yang diperbolehkan oleh Islam adalah laba yang diperoleh secara wajar, tidak merugikan dan mengurangi hak-hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli.
BAB IV
RELEVANSI HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI DALAM KONTEKS KEKINIAN
A. Keuntungan Jual Beli dalam Pandangan Praktisi Ekonom Islam.
Pada dasarnya perniagaan atau perdagangan itu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Barang siapa yang tidak beruntung perdagangannya, maka hal itu dikarenakan ia tidak melakukan usaha dengan baik dalam memilih dagangan atau dalam bermuamalah dengan orang lain.
Untung adalah kembalian kepada pengusaha sebagaimana upah dan gaji merupakan bayaran kepada pekerja. Tanpa keuntungan yang stabil, perniagaan pada umumnya tidak akan berjalan dengan lancar. Manakala kerugian adalah berterusan, maka akan melumpuhkan perniagaan sama sekali. Dalam ekonomi laba berasal dari kelebihan hasil atas biaya. Secara kasar, dapat dikatakan bahwa keuntungan suatu perdagangan itu dipengaruhi oleh harga barang, jumlah penjualan barang, dan biaya kepentingan harga barang.
ولا تنس نصيبك من الدّنيا واحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض2[94]
Artinya : Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini.
Adapun istilah laba dalam produksi itu berarti jumlah pendapatan dikurangi jumlah ongkos yang terdiri dari upah pekerja, sewa tanah, dan bunga modal (ongkos-ongkos).[98]
Dalam perdagangan, keuntungan diperoleh melalui inisiatif, kerja keras, dan tentu saja merupakan hasil dari suatu proses penciptaan nilai yang jelas. Dalam meraih keuntungan, pemilik perusahaan tetap terlibat dan berkepentingan dengan penggunaan modal tersebut seterusnya. Dengan demikian keuntungan merupakan hasil angka produksi. Dalam mendapatkan keuntungan, unsur usaha itu tetap terdapat dalam proses produksi dan pemasaran, pemilik modal memang menentukan penggunaan modalnya secara ekonomik, pengusaha menyetujui penemuan-penemuan baru untuk menambah keuntungannya.[99]
Keuntungan itu tambahannya tidak pasti. Keuntungan dari pedagang dan industri turun naik dan berhubungan langsung dengan usaha-usaha yang diperbuat. Laba adalah pembayaran untuk asumsi resiko oleh pengusaha. Karena asumsi resiko adalah pengorbanan maka ini harus dibayar dalam bentuk laba. Pengusaha unggul dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi berkat kemampuan berorganisasi, kemampuan fisik, dan mental lainnya.
Menurut Qiffal sebagaimana yang dikutip oleh Afzalur Rahmān, keuntungan dari penjual merupakan imbalan bagi sesuatu yang sangat berharga bagi pembeli, artinya kedua belah pihak saling memperoleh manfaat.[100]
Menurut Ibn Khaldūn keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen.[101]
Terkait dengan permasalahan yang penyusun kaji yaitu tentang keuntungan jual beli, Husein Syahatah memberikan beberapa kriteria umum Islami yang dapat memberi pengaruh dalam penentuan batas laba yang diinginkan oleh si pedagang. Di antara kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Kelayakan dalam penetapan laba.
Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Husain Syahatah pernah berkata: “Sesungguhnya laba itu hendaklah kelebihan kecil dari modal awal karena harta juga banyak, semakin besarlah labanya. Karena jumlah yang sedikit jika dimasukkan ke dalam jumlah yang banyak, ia akan menjadi banyak”.[103]
2. Keseimbangan antara tingkat kesulitan dan laba.
Islam menghendaki adanya keseimbangan antara standar laba dan tingkat kesulitan perputaran serta perjalanan modal itu. Semakin besar tingkat kesulitan dan resikonya, maka semakin besar pula laba yang diharapkan.
Dari pendapat ulama-ulama fiqh dan para pakar akuntansi Islam, jelas bahwa ada hubungan sebab akibat (kausal) antara tingkat bahaya serta resiko dan standar laba yang diinginkan oleh pedagang. Karenanya, semakin jauh perjalanan, semakin tinggi resikonya, maka semakin tinggi pula tuntutan pedagang terhadap standar labanya. Begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, semua ini dalam kaitannya dengan pasar Islami yang bercirikan kebebasan bermuamalah hingga berfungsinya unsur penawaran dan unsur permintaan. Pasar Islami juga bercirikan bebasnya dari praktek-praktek monopoli, kecurangan, penipuan, perjudian, pemalsuan serta segala jenis jual beli yang dilarang oleh syari’at. Jadi di sini, iman, akhlak, dan tingkah laku yang baik mempunyai peran yang penting dalam kesucian pasar.
3. Masa perputaran modal.
Peranan modal juga berpengaruh pada standarisasi laba yang diinginkan pedagang, yaitu dengan semakin panjangnya masa perputarannya dan bertambahnya tingkat resiko, maka semakin tinggi pula standar laba yang diinginkan seorang pedagang atau pengusaha. Begitu juga dengan semakin berkurangnya tingkat bahaya, pedagang dan pengusaha akan menurunkan standarisasi labanya.
4. Cara menutupi harga penjualan.
Ada dua macam pembayaran harga, yaitu pembayaran tunai dan pembayaran yang ditunda atau sistem pembayaran kredit. Sudah biasa di kalangan pedagang bahwa harga pembelian secara kredit lebih mahal dari pembayaran secara tunai, untuk itu standar laba menjadi lebih tinggi.
5. Unsur-unsur pendukung.
Di samping unsur-unsur yang dapat memberikan standarisasi laba, unsur-unsur lain seperti keadaan ekonomi yang berbeda dari waktu ke waktu juga tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam.[104]
1. Keuntungan memperdagangkan barang haram.
Di antara keuntungan yang haram adalah yang diperoleh dengan jalan berdagang barang-barang yang diharamkan oleh syara’, seperti menjual benda-benda memabukkan, ganja, bangkai, berhala, arca-arca yang diharamkan, atau menjual segala sesuatu yang membahayakan manusia, seperti makanan yang rusak, minuman yang kotor, benda-benda yang membahayakan, obat-obat terlarang dan sebagainya.
2. Keuntungan dari jalan menipu dan menyamarkan.
Demikian pula hukum keuntungan atau laba yang diperoleh dengan jalan menipu atau menyamarkan perdagangan dengan menyembunyikan cacatnya barang dagangan, atau menampakkannya (mengemasnya) dalam bentuk yang menipu, yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dengan tujuan mengecoh pembeli. Termasuk dalam hal ini iklan promosi yang berlebih-lebihan, yang menyesatkan pembeli dari kenyataan yang sebenarnya. Nabi Saw. melepaskan diri dari orang yang menipu, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم مرّعلى صبرّة من طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال ما هذا يا صاحب الطّعام؟ قال أصابته السّماء يا رسول الله قال: أفلا جعلته فوق الطّعام كى يراه النّاس؟ من غشّ فليس منّى13 [105]
Artinya : Bahwa Nabi Saw. berjalan-jalan di suatu pasar kemudian memasukkan jarinya pada sebuah makanan dan mendapatinya dalam keadaan basah, beliau bertanya kepada penjualnya, kemudian dia menjawab kalau makanannya terkena hujan. Nabi berkata: “kenapa tidak kamu letakkan di atas supaya bisa dilihat orang lain, barang siapa berbohong maka bukan termasuk golonganku”.
المسلم أخو المسلم لا يحلّ لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب إلاّ بيّنه له14 [106]
Artinya : Orang muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang ada cacatnya melainkan harus dijelaskannya kepadanya.
3. Manipulasi dengan merahasiakan harga saat penjualan.
4. Keuntungan dengan cara tipu daya yang buruk.
5. Keuntungan dengan cara menimbun.
Di antara keuntungan yang tidak halal bagi pedagang muslim ialah yang diperoleh dengan jalan menimbun sebagaimana telah dilarang syara’.[107]
Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, lebih lanjut Adiwarman A. Karim menjelaskan dalam bukunya Ekonomi Mikro Islami mengenai praktek bisnis yang juga dilarang oleh Islam, yaitu:
1. Talaqqi rukban yaitu pedagang membeli barang dagangan dari si penjual sebelum mereka masuk ke kota. Praktek ini dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
2. Mengurangi timbangan, karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
3. Menukar kurma kering dengan kurma basah karena takaran kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar.
4.
Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya.
5. Transaksi najasy yaitu si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
6. Ikhtikar yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
7. Gaban fāhisy yaitu menjual di atas harga pasar.[108]
Adapun fungsi dari keuntungan itu di antaranya:
1. Dapat mengembangkan usaha.
2. Dapat menggunakan kemampuan yang lebih besar.
3. Dapat memberikan tingkat kepuasan yang lebih besar pada konsumen.
4. Dapat memperkuat kondisi perekonomian secara keseluruhan.[109]
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis yang penyusun bahas jika dipahami secara tekstual mengandung makna bahwa Islam tidak membatasi pengambilan keuntungan dalam jual beli. Sedangkan secara kontekstual mengandung makna bahwa pada dasarnya kegiatan-kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian bukan semata-mata untuk merealisir keuntungan materiil saja. Kebebasan ekonomi Islam bukanlah merupakan kebebasan yang mutlaq atau tanpa batas, akan tetapi terikat oleh norma-norma yang digariskan dalam Islam, yaitu ikatan keadilan demi terwujudnya kemaslahatan umum.
B. Keuntungan Jual Beli dalam Konteks Kekinian
Syari’at Islam mendorong manusia untuk berniaga dan menganjurkannya sebagai jalan mengumpulkan rizki, karena Islam mengakui produktifitas perdagangan atau jual beli. Dalam praktek jual beli, Islam menganut mekanisme kebebasan pasar yang mengatur bahwa penentuan harga berdasarkan permintaan dan penawaran. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang terkait dalam jual beli, agar tidak ada yang dizalimi, seperti pemaksaan untuk membeli dengan harga yang tidak diinginkan.
Islam sangat menekankan terciptanya pasar bebas dan kompetitif dalam transaksi jual beli. Tetapi semua bentuk kegiatan jual beli itu harus berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan mencegah kezaliman, sehingga kegiatan perdagangan yang mendatangkan kezaliman dilarang oleh Islam, seperti monopoli, menimbun barang-barang pokok, eksploitasi, dan perdagangan lainnya.[110]
Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan bersih dari pokok pembelian.
Seorang penjual berhak atas keuntungan dari usahanya, sedangkan pembeli berkewajiban untuk memberikan kompensasi bagi jasa yang telah diterima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan untuk konsumtifnya saja, tetapi juga agar ia mampu mengembangkan usahanya (produktifitas).[111]
Setiap orang memiliki kebebasan untuk berusaha mendapat harta dan mengembangkannya. Menurut hukum dagang Islam, berdagang atau berniaga adalah suatu usaha yang bermanfaat yang menghasilkan laba, yaitu sisa lebih setelah adanya kompensasi secara wajar terhadap faktor-faktor produksi. Jadi, laba menurut ajaran agama Islam adalah keuntungan yang wajar dalam berdagang dan bukan riba.
Untuk memperoleh keuntungan yang didambakan, ada banyak cara yang dilakukan penjual untuk mempengaruhi konsumen agar membeli barang dagangannya, di antaranya dengan memberikan diskon dari harga jual, hadiah, undian maupun promosi lainnya yang intinya bertujuan untuk menarik minat konsumen agar membeli barang dagangannya.
Pemberian-pemberian tersebut adalah wajar, sebab meskipun keuntungan dari penjualan berkurang, namun dari sisi promosi akan sangat bermanfaat bagi produsen dan penjual, karena produknya menjadi semakin terkenal dan semakin banyak dicari konsumen.
Dari praktek pemberian berbagai fasilitas yang memanjakan konsumen tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalamnya juga terjadi persaingan usaha di antara sesama produsen maupun penjual untuk memperebutkan konsumen dan mengakibatkan rusaknya harga pasar.
Cara yang mungkin dilakukan produsen atau penjual sebagaimana dicontohkan di atas biasanya dilakukan dengan menjual produk jauh lebih murah dari harga pasar dan bahkan disertai dengan berbagai hadiah yang dapat diperoleh konsumen apabila membeli produk tersebut. Untuk beberapa saat penjual mungkin tidak memperoleh keuntungan dari barang yang dijualnya atau bahkan menderita kerugian, bahkan tidak jarang ada penjual yang memborong semua produk dengan maksud adanya kekosongan barang tersebut di pasaran.
Penjual tersebut jelas harus memiliki modal yang sangat besar apabila ingin menguasai pasar dikarenakan beberapa hal, yaitu:
1. Untuk menarik konsumen, ia harus menjual barang tersebut denga harga yang sangat murah bahkan disertai dengan berbagai pemberian hadiah dan bonus.
2. Harus pula bertindak sebagai penimbun agar barang tersebut langka bahkan kosong di pasaran.
Dengan usaha tersebut, dalam jangka pendek penjual akan mengalami kerugian bahkan tidak jarang jumlahnya besar, namun untuk jangka panjang penjual dapat memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, karena produknya semakin dikenal dan semakin dicari konsumen dan ia sudah tidak mempunyai saingan lagi, yang akibatnya konsumen akan sangat bergantung kepadanya. Setelah saingannya bangkrut dan konsumen sudah semakin mengenal produk atau penjualnya, maka lambat laun si penjual tersebut mulai menguasai pasar bahkan mungkin memonopoli penjual barang tersebut di pasaran.
Barangkali rahasianya, bahwa pembatasan laba dengan batasan tertentu dalam perdagangan terhadap semua jenis barang, di semua lingkungan, pada semua waktu, dalam semua kondisi, dan bagi semua golongan manusia, merupakan hal yang selamanya tidak akan dapat mewujudkan keadilan.
Ada perbedaan antara barang yang menurut tabiatnya berputar dengan cepat seperti makanan dan sejenisnya, yang mengalami perputaran beberapa kali dalam setahun, dengan harta atau barang-barang yang sedikit perputarannya, yang hanya setahun sekali atau bahkan kadang-kadang lebih dari setahun. Maka untuk jenis komoditas yang pertama ini hendaklah mengambil keuntungan yang lebih kecil dari yang kedua.
Demikian juga berbeda antara orang yang menjual dengan tunai dan orang yang menjual secara bertempo, yang telah dikenal bahwa dalam penjualan tunai pengambilan keuntungan lebih kecil, sedangkan pada penjualan bertempo labanya lebih tinggi. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kesulitan dari orang-orang yang menunda pembayaran.
Juga ada perbedaan antara barang-barang kebutuhan pokok dan yang menjadi kebutuhan orang banyak, dengan barang-barang pelengkap yang biasanya hanya dibeli oleh orang kaya. Untuk barang yang pertama sebaiknya laba dipungut sedikit saja demi kemanusiaan. Sedangkan untuk macam kedua bisa dipungut laba yang lebih tinggi karena pembelinya tidak terlalu membutuhkan.
Selain itu, sebaiknya dibedakan pula antara pedagang yang dapat memperdagangkan dengan mudah dan orang yang harus susah payah mendapatkan barang dagangannya dari sumbernya. Demikian pula antara orang yang dapat menjualnya dengan mudah dengan orang yang harus melakukan berbagai upaya dan mengeluarkan tenaga untuk menjualnya.
Ada perbedaan pula antara pedagang yang dapat membeli barang dagangan dengan harga murah karena ia dapat membelinya langsung dari produsen tanpa perantara, dengan pedagang yang membelinya dengan harga yang lebih tinggi setelah barang-barang itu berpindah dari tangan ke tangan. Karena pedagang yang pertama itu mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada yang kedua. [113]
Beberapa uraian di atas, dimaksudkan bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak terdapat nas yang memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan dalam perdagangan. Yang jelas, hal ini diserahkan kepada hati nurani masing-masing orang muslim dan tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain, yang memang menjadi pedoman bagi semua tindakan dan perilaku seorang muslim dalam semua hubungan.
Oleh karena itu, menurut konsep Islam, nilai-nilai keimanan, akhlak, dan tingkah laku seorang pedagang memegang peranan utama dalam mempengaruhi kadar laba dalam transaksi atau muamalah. Islam tidak memisahkan antara ekonomi dan akhlak. Berbeda dengan falsafah kapitalisme yang menjadikan “keuntungan materi” sebagai tujuan utama dan pemberi motivasi terbesar untuk melakukan kegiatan perekonomian yang tidak banyak terikat dengan ikatan-ikatan seperti Islam, sehingga mereka tidak melarang mencari keuntungan dengan jalan riba atau menimbun barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, atau menjual barang-barang memabukkan dan lain-lainnya yang dapat menimbulkan madarat kepada orang banyak dan mendatangkan keuntungan bagi pribadi-pribadi tertentu.
Agama Islam bukan berarti melarang umatnya untuk mencari keuntungan dan laba. Keuntungan yang diperbolehkan oleh Islam adalah laba yang diperoleh secara wajar, tidak merugikan dan mengurangi hak-hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli. Ekonomi Islam tidak hanya memfokuskan pada keuntungan materi atau duniawi semata, tetapi juga keuntungan ukhrawi. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
من كان يريد حرث الأخرة نزدله فى حرثه ومن كان يريد حرث الدّنيا نؤته منهاوماله فى الأخرة من نصيب[114]
Artinya : Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akherat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akherat.
Berdasarkan ayat di atas, maka sebagai masyarakat muslim sudah seharusnya dalam melakukan jual beli tidak hanya mengejar keuntungan duniawi semata, tetapi juga keuntungan ukhrawi, yaitu bertindak secara jujur dan amanah, bukan sebaliknya.
BAB V
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapatlah penyusun ambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. 
Dengan menggunakan metode Ma’āni al-Hadisׂ, hadis tentang keuntungan jual beli tidak hanya bisa dipahami secara tekstual tetapi juga dapat dipahami secara kontekstual. Faktor historis pada saat disabdakan hadis ini, sangat membantu dalam memahami hadis secara benar. Para ulama berbeda pendapat hadis keuntungan jual beli. Dalam memahami hadis ini mereka ada yang memahami secara tekstual hadis, ada juga yang memahaminya secara kontekstual. Secara tekstual hadis tersebut mengandung makna bahwa Islam tidak membatasi pengambilan keuntungan dalam jual beli, sedangkan secara kontekstual mengandung makna bahwa pada dasarnya kegiatan-kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian, dan tidak semata-mata untuk melealisir keuntungan materiil saja. Kebebasan ekonomi Islam bukanlah merupakan kebebasan yang mutlaq atau tanpa batas, akan tetapi terikat oleh norma-norma yang digariskan dalam Islam, yaitu ikatan keadilan demi terwujudnya kemaslahatan umum.
2. Islam tidak memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan dalam perdagangan. Yang jelas, hal ini diserahkan kepada masing-masing pedagang dan tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain. Pembatasan keuntungan dengan batasan tertentu dalam perdagangan terhadap semua jenis barang, di semua lingkungan, pada semua waktu, dalam semua kondisi, dan bagi semua golongan manusia yang berbeda, merupakan hal yang selamanya tidak akan dapat mewujudkan keadilan. Dengan demikian jelaslah bahwa para pedagang diperbolehkan mengambil keuntungan dari barang dagangannya sesuai dengan yang diinginkannya selama tidak dengan jalan menipu, menimbun, atau dengan jalan haram lainnya yang tidak sesuai dengan syari’at Islam.
- Saran-saran
Harapan penulis, kajian ini tidak cukup hanya sampai di sini, tetapi mengharapkan pengembangan lebih lanjut dari kajian ini, dan dalam sebuah pasar diharapkan adanya persaingan yang sehat. Namun persaingan sehat disini tidak berarti persaingan sempurna, tetapi suatu persaingan yang bebas dari penimbunan, penyelundupan, dan lain sebagainya sehingga akan terwujudnya suatu jalinan perdagangan yang sesuai dengan syari’at Islam. Maka sebagai masyarakat muslim sudah seharusnya dalam melakukan jual beli tidak hanya mengejar keuntungan duniawi semata, tetapi juga keuntungan ukhrawi, yaitu bertindak secara jujur dan amanah, bukan sebaliknya.
- Penutup
Alhamdulillah, rasa syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas rahmat dan Inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala kemampuan yang ada. Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan yang masih diperlukan saran dan kritik dari berbagai pihak terhadap skripsi ini.
[3]Aḥmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 11.
[8]Yūsuf al-Qaradawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, ahli bahasa. Didin Hafiduddin, Setiawan Budi Utomo, Aunurrafiq, Saleh Tahmid (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 25.
[15]Abi Abdillāh Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrāhim ibnu al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), hlm. 187.
[16]‘Abd al-Rahmān al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ‘Alā Mażāhib al-‘Arba’ah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), hlm. 141.
[17]Sofyan Safri Harahap, Akuntansi dan Manajemen dalam Perusahaan (Jakarta: FE. Univ. Trisakti, 1992), hlm. 127.
[26]Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 202.
[27]M. Syuhudi Isma’il, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, hlm. 7.
[28]Yūsuf al-Qaradawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir, cet IV (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 26-27.
[29]Ibid., hlm. 92.
[30]Ibid.,hlm. 27.
[31]Peter Salim dan Yunny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer(Yogyakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 626.
[32]A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 124.
[33]Ibid., hlm. 716.
[34]Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah (Qahirah: Dār al-Fath Lili’lāmi al-‘Arabi, 1990), III: 198.
[35]Muhammad Syarbini, al-Iqna’ (Bandung: Syirkatu al-Ma’ārif, t.t.), II: 2.
[36]Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu’in (Mesir: Dār al-Kutub al-‘Arabi, t.t.), hlm. 66.
[39]Hasbi al-Siddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam(Semarang: Pustaka Rizki Putera,1997), hlm. 336.
[40]M. Abdul Mujib dkk, Kamus Istilah Fiqh, cet 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 34.
[41]Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 33.
[42]Ibid., hlm. 34.
[43]Ibid.
[47]Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, hlm. 37-40.
[48]Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, hlm. 65
[49]Ibid., hlm. 66-67.
[50]Ibid., hlm.68-70.
[52]Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, hlm. 101.
[53]Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Alih bahasa Anas Sidiq (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 58.
[55]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000), hlm. 120-125.
[56]Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 60-61.
[57]Ibid., 61-62
[59]Budiono, Ekonomi Mikro (Jogjakarta: BPFE-UGM, t.th), hlm. 2.
[60]Ibid.,hlm. 3.
[61]Ibid.,hlm. 3-4.
[62]Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 127.
[63]Afzalurrahmān, Al-Qur’an dalam Berbagai Disiplin Ilmu (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 30.
[64]Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-prinsip dan Tujuannya, alih bahasa H. Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal (Surabaya: P.T. Bina Ilmu, 1980), hlm. 20-22.
[65]AJ. Wensinck, Al-Mu’jām al-Mufakhrās li Alfāz al-Hadisׂ al-Nabawi, terj. Muhammad Fuad Abd al-Baqi’, Juz III (Laeiden: E.J. Brill, 1937), hlm. 119.
[66]Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā’il ibn Ibrāhim ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), hlm. 187.
[67]Imām al-Hafiz Abi ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Suran al-Tirmiżi, Sunan al-Tirmiżi, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983 M), hlm. 365.
[68]Imām al-Hafiz al-Musnif al-Mutqin Abi Daud Sulaiman Ibn al-‘As’ad al-Sajsatani al-Azali, Sunan Abū Dāud, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 265.
[69]Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, terj, H. Abdullah Shonhaji dkk, Juz V (Semarang: Asy-Syifa, 1992), hlm. 385.
[70]CD Rom Mausū’ah al-Hadisׂ al-Syarif , Musnad Ahmad ibn Hanbal (Global Islamic Software Conpany: Syirkah al-Baramij al-Islamiyyah al-Dawliyyah, 1991-1997), no. 18549.
[71]Ibid., no. 18554.
[72]I’tibār adalah upaya penyertaan Sanad-sanad dalam meneliti suatu hadis yang pada sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dengan menyertakan sanad lain akan diketahui adakah periwayat-periwayat lain atau tidak. Lihat Muhammad Tahhan, Tafsir Mustalāh al-Hadisׂ (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, t. th) hlm. 15. dari kegiatan ini diterapkan ada tidaknya suatu pendukung baik berupa syāhid maupun muttabi’.
[73]Syāhidadalah seorang sahabat yang meriwayatkan hadis menyerupai sahabat lain baik lafaz-lafz maupun makna. Lihat Muhammad ‘Ajjāj al-Khatab, Usūl al-Hadisׂ Ulūmuhu wa Mustalāhuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), hlm, 366.
[74]Ibid.
[75]Ahmad ibn Ali bin Hajar al-Asqalāni, Fathu al-Bari: Syarh Sahih al-Imām Abū Abdullah ibn Ismā’il al-Bukhāri, juz II (Beirut: al-Maktabah al-Salafiyah,t.th),hlm. 635.
[76]CD Rom Mausū’ah al-Hadisׂ al-Syarif (Global Islamic Software Conpany: Syirkah al-Baramij al-Islamiyyah al-Dawliyyah, 1991-1997)
[77]M. Syuhudi Ismā’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 2002-204..
[78]Salāh al-Din Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, alih bahasa. M. Qadirun, Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 209.
[81]Muhammad ‘Ajjāj al-Khatib, Usūl al-Hadisׂ ‘Ulūmuhu wa Mustalāhuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), hlm. 55-56.
[82]A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 716.
[83]Ibid., hlm. 124.
[84]Louwis al-Ma’lūf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lām, cet ke-28 (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), hlm. 244
[85]Ibid., hlm. 737.
[88]A.J. Weensick, Miftāh Kunūz al-Sunnah, terj. Muhammad Fuad Abd al-Baqi’ (Beirut: Dar Ihya’ al-‘Arabi, t.th), hlm 89.
[89]Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, juz II (Semarang: Toha Putra, t. th), hlm. 737.
[90]Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr, t,th), hlm. 174.
[91]Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Asbāb al-Wurūd, alih bahasa. O. Taufiqullah, Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 166.
[92]Afzalur Rahmān, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Alih Bahasa Dewi Nurjuliyanti, Isnan, dkk, cet. ke-1 (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), hlm. 1-3.
[93]Syeikh Ghazali Syeikh Abad dan Zanbury Abdul kadir, Pengurusan Perniagaan Islam, cet. ke-1 ( Malaysia: Hisbi Syah Alam, 1991), hlm. 274.
[94]Al-Qaṣāṣ (28): 77.
[95]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hlm. 1132.
[96]Yūsuf al-Qaradawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Alih bahasa As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), II: 588.
[97]Husein Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, alih bahasa Husnul Fatarib (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001), hlm. 148.
[98]Basu Swasta dan Ibn Sukotjo, Pengantar Bisnis Modern, cet ke-10 (Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 19.
[99]M. Abdul Mannān, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Alih Bahasa M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), hlm. 133.
[100]Afzalur Rahmān, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Alih Bahasa Dewi Nurjuliyanti, Isnan, dkk, cet. ke-1 (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), hlm. 324.
[101]Syekh Ghazali, Sykh Abad dan Zanbury, Pengurusan Perniagaan Islam, hlm. 259.
[102]Husain Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, hlm. 159.
[103]Ibid.
[104]Ibid., hlm. 159-165.
[106]Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, “Kitab al-Tijārāh ” (Semarang: Toha Putra, t. th), II: 755. Hadis dari Muhammad bin Basyār dari Wahāb bin Jarir dari Bapaknya dari Yahya ibn Ayyūb dari Yazid ibn Abi Habib dari Abdirrahman ibn Syumāsah dari Uqbah ibn ‘Amr.
[107]Yūsuf al-Qaraḍawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, hlm. 603-615.
[108]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, cet. ke-1 (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hlm. 132-133.
[109]Basu Swasta, Azas-azas Manajemen (Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 21.
[110]Asmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqh, cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 121.
[111]Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 113.
[112]Yūsuf al-Qaradawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, hlm. 594.
[113] Ibid.,hlm. 594.
[114]Al-Syurā (42): 20.